Ia menilai, pernyataan bahwa Presiden boleh berkampanye tidak dapat diterima oleh nalar yang sehat dan etika yang peka, sepanjang presiden dan wakil presiden tersebut tidak mencalonkan diri kedua kalinya sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Mulanya, Arief menyatakan bahwa Pemilu serentak tahun 2024 berbeda dengan penyelenggaraan Pemilu pada tahun 1999, 2004, 2009, dan 2014, serta 2019.
Perbedaan itu terletak pada dugaan intervensi kuat dari sentral cabang kekuasaan eksekutif yang cenderung dan secara jelas mendukung calon tertentu dengan segenap infrastruktur politiknya.
"Anggapan bahwa presiden boleh berkampanye merupakan justifikasi yang tidak dapat diterima oleh nalar yang sehat dan etika yang peka," kata Arief dalam sidang putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024).
Arief menyampaikan, desain politik UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memiliki cakupan ruang yang terbatas.
Menurut beleid itu, kampanye oleh presiden hanya diperbolehkan tatkala akan mencalonkan diri kembali dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden untuk kali kedua.
Berdasarkan penafsiran sistematis dan penafsiran gramatikal terhadap pasal 301 dalam UU pemilu dimaksud pun menyatakan hal serupa.
"Artinya preisden boleh berkampanye ketika posisinya adalah sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, dan bukan berkampanye untuk mempromosikan pasangan calon presiden tertentu ataupun yang didukungnya," beber Arief.
Oleh karenanya kata Arief, bila presiden dan wakil presiden turut mengampanyekan calon yang didukungnya, maka tindakan ini telah mencederai prinsip moral dan kehidupan, dan etika kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Secara filosofis (ketetapan ini) lahir pada tahun 2021 sebagai akibat adanya kemunduran dalam etika kehidupan berbangsa sehingga sebabkan krisis multidimensional. Untuk memulihkan kembali maka MPR kala itu membuat rumusan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa dan bernegara," jelasnya.
Pada Januari 2024, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa seorang presiden boleh berkampanye mendukung pasangan tertentu dalam pemilu presiden.
Jokowi mengaku mengacu pada Pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dijelaskan dalam aturan tersebut bahwa kampanye dan pemilu yang mengikutsertakan presiden dan wakil presiden harus memenuhi ketentuan, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan kecuali fasilitas pengamanan, dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Sebagai informasi, MK menolak gugatan perselisihan hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 yang dimohonkan oleh calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Putusan itu diketuk Majelis Hakim MK dalam persidangan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024).
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim MK Suhartoyo. Ada sejumlah alasan yang mendasari MK menolak gugatan Anies-Muhaimin.
Pada pokoknya, gugatan pasangan mantan Gubernur DKI Jakarta dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu dianggap tidak beralasan menurut hukum.
Oleh karenanya, dalil-dalil yang disampaikan pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut lantaran dinilai tak relevan.
"Mahkamah berpendapat permohonan pemohon tidak berlasan menurut hukum untuk seluruhnya," ujar hakim konstitusi Guntur Hamzah.
“Oleh karena itu, jika masih terdapat fakta hukum dalam persidangan baik yang didalilkan atau tidak didalilkan oleh pemohon belum dinilai dan dipertimbangkan, Mahkamah meyakini hal tersebut tidak dapat membuktikan adanya relevansi dengan signifikansi perolehan suara atau hasil yang merupakan prinsip dasar dalam mengungkap perselisihan hasil tentang pemilihan umum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,” lanjutnya.
https://nasional.kompas.com/read/2024/04/22/16015921/beda-pendapat-hakim-mk-arief-hidayat-sebut-presiden-boleh-kampanye-tak-dapat