Menurut MK, DPD tidak memiliki kedudukan hukum dalam perkara itu.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan, penolakan oleh MK itu hanyalah kemenangan sementara oligarki politik dan oligarki ekonomi yang menyandera negara saat ini.
“Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh oligarki,” ujar LaNyalla dalam keterangannya, seperti dikutip Jumat (8/7/2022).
LaNyalla menjelaskan, kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa, tinggal disempurnakan saja.
Akan tetapi, kata LaNyalla, hal tersebut dibongkar dengan Amandemen yang ugal-ugalan pada tahun 1999-2002 silam.
“Dan kita menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Akibatnya tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi oligarki ekonomi dan oligarki politik,” tuturnya.
LaNyalla mengaku heran saat majelis hakim MK menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional.
Menurut LaNyalla, tidak ada ambang batas pencalonan di Pasal 6A Konstitusi.
“Dan yang paling inti adalah majelis Hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal hukum ada untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan,” kata LaNyalla.
Dia menuding Pasal 222 dalam UU Pemilu sebagai pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia.
LaNyalla gusar karena pasal itu menjadi jalan bagi para oligarki untuk bisa menentukan pemimpin di Indonesia.
Sebelumnya, MK menolak gugatan uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diajukan tiga pihak pada sidang putusan Kamis (7/7/2022).
Gugatan kedua yang tercatat dengan perkara nomor: 52/PUU-XX/2022 dimohonkan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Aa La Nyalla Mahmud Mattalitti dan Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin sebagai pemohon I.
Kemudian, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor sebagai pemohon II.
Dalam putusannya, MK menyatakan permohonan pemohon I tidak dapat diterima. Sementara itu, permohonan pemohon II ditolak untuk seluruhnya.
MK menyatakan tidak menerima permohonan jajaran DPD terkait pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU Pemilu.
Sebab, pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7 tahun 2017 a quo adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu; dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik.
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/08/15391111/mk-tolak-gugatan-presidential-threshold-la-nyalla-singgung-soal-oligarki