Pada pokoknya, DPR bersama Pemerintah dituding tidak terbuka dan mengabaikan prinsip partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukannya sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Beberapa kelompok masyarakat bahkan menyatakan secara terbuka akan mengajukan pengujian formil ke MK.
Partisipasi publik
Kritik dan perdebatan terhadap proses perubahan kedua UU P3 sejatinya masih dalam taraf yang wajar, karena memang demokrasi memberikan ruang untuk itu.
DPR bukan tidak menjalankan proses legislasi secara terbuka, tapi memang kita belum memiliki standar baku bagaimana partisipasi masyarakat itu dijalankan.
Bila merujuk pada putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, MK menyatakan bahwa partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang harus dilakukan dengan lebih bermakna (meaningful participation).
Setidaknya terlaksana dengan memenuhi tiga prasyarat: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Ketiga bentuk partisipasi publik tersebut di atas setidaknya juga harus terlaksana minimal di tiga tahap proses pembentukan undang-undang: (i) pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU); (ii) pembahasan bersama antara DPR dengan Presiden, serta mengikutsertakan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden.
Dalam ketiga tahapan tersebut, asas keterbukaan dan partisipasi publik telah dilakukan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Naskah akademik dan draf RUU perubahan kedua UU P3 sudah dipublikasikan sejak jauh-jauh hari guna menjaring masukan.
Begitupun setiap tahapan pembahasan RUU juga dilakukan secara terbuka dengan disiarkan secara langsung di TV Parlemen dan Kanal Youtube DPR.
Selain itu, DPR juga telah melaksanakan berbagai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Focus Group Discussion (FGD), sosialisasi dan mengundang kelompok-kelompok masyarakat yang terdampak atau kelompok yang berkepentingan di isu terkait untuk mendapatkan masukan.
Artinya dalam konteks ini, apa yang menjadi konsen dari putusan MK tentang meaningful participation sudah terlaksana di semua tahapan.
Hanya saja, partisipasi masyarakat yang dijalankan dalam proses revisi UU tersebut patut diakui belum memuaskan ekspektasi sebagian orang.
Menjaring masukan
Secara normatif, bila merujuk pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, pembentukan suatu undang-undang pada dasarnya haruslah dibentuk oleh lembaga/organ yang tepat (beginsel van het juiste orgaan).
Sebagaimana yang diungkapkan I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul Handboek Wetgeving, bahwa bila suatu peraturan perundang-undangan dibentuk selain oleh lembaga yang berwenang, maka peraturan tersebut dapat dibatalkan (vernietegbaar) atau batal demi hukum (van rechtswege nieteg).
Dalam konteks undang-undang, secara teoritis, sepanjang dibentuk oleh DPR bersama pemerintah, dan khusus Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dengan melibatkan DPD, maka undang-undang tersebut sah, sekalipun produk hukum yang dihasilkan mendapat kritik dari masyarakat.
Namun demikian, walaupun secara teoritis terbuka peluang itu, tapi dalam pembentukan undang-undang tidak boleh mengesampingkan kehendak masyarakat atau pada pokoknya tetap membutuhkan masukan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan teori demokrasi yang menekankan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, yang mengindikasikan bahwa hukum yang dibentuk tersebut berdasarkan pada kepentingan rakyat.
Oleh sebab itu, kritik dan masukan terhadap proses pembentukan undang-undang yang dijalankan DPR tidak boleh dilarang ataupun dibatasi.
Siapapun dapat mengemukakan pendapatnya, sepanjang masih dalam taraf koridor hukum yang berlaku.
Tapi persoalannya bukanlah terletak pada kritiknya, melainkan pada solusi untuk menjawab persoalan partisipasi masyarakat itu sendiri.
Banyak kelompok menyatakan bahwa pembentukan undang-undang tidak partisipatif, tapi mereka lupa memberikan solusi tentang bagaimana partisipasi publik itu seharusnya dijalankan.
Walaupun telah ada putusan MK yang mewajibkan adanya meaningful participation dalam pembentukan undang-undang, bukan berarti sistem yang ideal akan lahir dengan sendirinya.
Saat ini, kita masih mencari model yang tepat untuk mengakomodir partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang.
Dalam merumuskan model tersebut, yang perlu menjadi pertimbangan adalah persoalan siapa saja yang partisipasinya perlu didengar dan diharapkan.
Perlu ada mekanisme yang terukur, yang tentunya tidak dapat tercipta dalam waktu singkat.
Bila partisipasi yang diharapkan adalah tanpa pengecualian, sekali lagi, undang-undang tidak akan pernah lahir dan tidak guna ada pemilihan umum, sebab anggota DPR dipilih adalah untuk mewakili kepentingan rakyat.
Masyarakat memang harus dilibatkan, tapi persoalannya masyarakat mana yang harus dilibatkan?
Pasal 96 UU P3 yang baru telah mendefinisikan masyarakat dimaksud sebagai orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan suatu RUU.
Ketentuan ini bisa menjadi batasan dalam penentuan siapa saja yang pendapatnya harus didengar dalam pembentukan undang-undang.
Ketentuan ini mungkin tidak akan mudah diterima oleh sebagian pihak. Tapi tanpa adanya kejelasan yang demikian, maka persoalan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang akan tetap menjadi persoalan yang mengambang dan tak berkesudahan.
https://nasional.kompas.com/read/2022/06/24/13134011/ihwal-partisipasi-masyarakat-dalam-proses-legislasi