JAKARTA, KOMPAS.com - Tiga pekan setelah pengesahan dalam Rapat Paripurna, draf Undang-Undang Cipta Kerja terus mengalami perubahan. Naskah resmi undang-undang yang disusun dengan mekanisme omnibus law itu belum juga bisa diakses secara resmi.
Sementara, protes dan penolakan masih terus digaungkan agar Presiden Joko Widodo mencabut UU Cipta Kerja dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Naskah pertama yang beredar yakni setebal 905 halaman yang diedarkan oleh pimpinan Badan Legislasi DPR setelah Rapat Paripurna digelar pada 5 Oktober.
Kemudian muncul naskah UU Cipta Kerja versi kedua setebal 1.035 halaman yang beredar pada Senin (12/10/2020) pagi. Selanjutnya muncul versi ketiga setebal 812 halaman yang beredar Senin malam.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengakui adanya perubahan substansi dalam draf final dengan draf yang beredar sebelumnya. Misalnya, Pasal 154A yang menurut Supratman mengembalikan ketentuan PHK sesuai UU Ketenagakerjaan.
Namun ia menjelaskan, perubahan tersebut sesuai kesepakatan yang sudah diambil sebelumnya dalam rapat panja, namun belum sempat ditulis di draf. Tak ada penambahan pasal baru yang di luar kesepakatan rapat panja.
"Jadi itu adalah keputusan panja supaya sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh panitia kerja," ujar Supratman dalam konferensi pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (13/10/2020).
Sementara Wakil Ketua DPR Aziz Syamsudin mengatakan, naskah yang diserahkan oleh DPR ke Presiden terdiri atas 812 halaman. Menurut dia, naskah itu mengalami penyusutan halaman karena perubahan format kertas yang digunakan.
Naskah 812 halaman itu diantarkan Sekjen DPR Indra Iskandar ke Sekretariat Negara, pada 14 Oktober.
Perubahan di Setneg
Setelah diserahkan ke Istana, naskah UU Cipta Kerja kembali mengalami perubahan. Perubahan ini diketahui setelah Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyerahkan salinan draf UU Cipta Kerja ke Majelis Ulama Indonesia dan Muhammadiyah.
Wakil Ketua MUI Muhyiddin menyebut pihaknya mendapat naskah sejumlah 1.187 halaman dalam bentuk hard copy dan soft copy. Belakangan soft copy naskah 1.187 halaman itu juga beredar luas di kalangan wartawan.
Mensesneg Pratikno menyebut perbedaan halaman yang cukup signifikan terjadi karena adanya perbedaan format yang digunakan. Pratikno memastikan tak ada substansi yang berubah.
Kendati demikian, diketahui ada pasal yang dihapus oleh Setneg. Pasal yang dihapus adalah ketentuan pengubahan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam UU Cipta Kerja setebal 812 halaman, ketentuan itu tertuang pada Pasal 40 angka 7.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono membenarkan adanya penghapusan itu. Menurut dia, pasal itu dihapus sesuai dengan kesepakatan sebelumnya di rapat panitia kerja antara pemerintah dan DPR.
Dini mengakui sesudah UU disahkan dalam Rapat Paripurna, tak boleh lagi ada perubahan substansi. Namun Dini menegaskan, penghapusan pasal itu bukan berarti mengubah substansi.
"Dalam hal ini penghapusan tersebut sifatnya administratif atau tipo dan justru membuat substansi menjadi sesuai dengan apa yang sudah disetujui dalam rapat panja baleg DPR," kata Dini saat dihubungi, Jumat (23/10/2020).
Belum bisa diakses
Dini pun memastikan naskah 1.187 halaman itu adalah naskah yang final. Ia menegaskan tak akan ada perubahan lagi karena proses pengecekan di Setneg sudah selesai dilakukan.
Namun pantauan kompas.com di situs Sekretariat Negara dan DPR, naskah UU Cipta Kerja belum bisa diakses sampai Senin pagi ini.
Dini menyebut naskah final UU Cipta Kerja baru akan diunggah ke saluran resmi pemerintah dan bisa diakses publik setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo.
"Setelah naskah UU ditandatangani Presiden dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI dan Berita Negara RI," ucap Dini.
Berdasarkan aturan, Jokowi memiliki waktu 30 hari setelah UU Cipta Kerja disahkan pada rapat paripurna 5 Oktober lalu. Namun, jika tak ditandatangani Jokowi dalam waktu 30 hari, UU yang ditolak para buruh dan mahasiswa itu juga tetap akan berlaku.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memastikan Presiden Jokowi akan menandatangani UU tersebut. Menurut dia, hanya tinggal menunggu waktu sampai UU itu diteken Jokowi.
Memalukan
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan, perubahan pasal di dalam UU yang telah disahkan adalah hal yang tidak dibenarkan.
Feri menegaskan, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jelas mengatur bahwa perubahan UU setelah pengesahan pada Rapat Paripurna hanya boleh dilakukan sebatas memperbaiki kesalahan pengetikan.
“Ini sudah sangat telanjang kesalahan formalnya. Ini memalukan,” tegas Feri.
Feri juga menilai alasan pemerintah dan DPR yang melakukan penghapusan pasal itu sesuai kesepakatan rapat panitia kerja tidak masuk akal. Ia menegaskan, harusnya semua kesepakatan di tingkat panja itu sudah dimasukkan seluruhnya ke naskah UU Cipta Kerja yang dibawa ke rapat paripurna pengesahan.
Dengan begitu, pasca-Rapat Paripurna, tak ada lagi perubahan substansi dalam naskah yang telah disetujui bersama.
"Ketika DPR menyerahkan draf ke pemerintah, maka dianggap draf itu lah yang disetujui bersama. Ternyata sampai ke Presiden diubah lagi. Nah ini yang tidak benar," kata dia.
Buruh dan mahasiswa akan demo lagi
Hingga saat ini, UU Cipta Kerja terus menuai penolakan karena isinya yang dianggap dapat memangkas hak pekerja dan hanya menguntungkan pengusaha.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pihaknya dan serikat buruh lainnya akan menggelar aksi demo besar-besaran pada 1 November 2020 jika Presiden Joko Widodo menandatangani Undang-Undang Cipta Kerja.
Ia memperkirakan UU tersebut akan ditandatangani Jokowi pada 28 Oktober. Buruh tidak langsung mendemo pada hari setelahnya mengingat ada libur panjang.
"Maka, 1 November kami pastikan buruh KSPI akan menyerukan aksi nasional di seluruh Indonesia, 20 provinsi dan lebih dari 200 kabupaten/kota, kami akan aksi besar-besaran," kata Said.
Menurut Said, aksi demo tersebut akan disertai dengan permohonan pengujian UU Cipta Kerja atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Sebelumya, mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) juga sudah mengultimatum Jokowi agar segera membuat perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 8x24 jam.
"Apabila tidak dapat melakukan hal tersebut dalam jangka waktu 8x24 jam sejak ultimatum ini dikeluarkan, maka kami memastikan akan adanya gerakan besar dari mahasiswa seluruh Indonesia yang membuat kegentingan nasional tepat pada Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2020," ujar Koordinator BEM SI Remy Hastian saat membacakan ultimatum dalam aksi unjuk rasa Selasa (20/10/2020).
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/26/10510741/tiga-pekan-sejak-pengesahan-naskah-uu-cipta-kerja-terus-berubah-dan-belum