Salin Artikel

Djoko Tjandra, Sosok "Joker" di Balik Kasus Cessie Bank Bali

Djoko Tjandra muncul setelah mengajukan peninjauan kembali ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 8 Juni lalu.

Namun, pendaftaran tersebut tidak dilakukan secara langsung atau dengan cara menyambangi Gedung PN Jakarta Selatan.

Melainkan, melalui sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sehingga identitas pendaftar tidak diketahui.

Lantas, siapa Djoko Tjandra?

Dia adalah Direktur dari PT Era Giat Prima (EGP) yang menjalin perjanjian cessie Bank Bali ke Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Dilansir dari pemberitaan Kompas.com pada 2008 silam, identitas Djoko identik dengan Grup Mulia yang memiliki bisnis inti properti.

Grup tersebut didirikan oleh kongsi empat bersaudara yaitu Tjandra Kusuma, Eka Tjandranegara, dan Gunawan Tjandra, selain oleh Djoko Tjandra sendiri.

Pada dekade 1990-an grup ini bahkan menjadi komandan utama dalam kepemilikan properti perkantoran seperti Five Pillars Office Park, Lippo Life Building, Kuningan Tower, BRI II, dan Mulia Center.

Grup Mulia juga menaungi sebanyak 41 anak perusahaan di dalam dan di luar negeri. Selain properti, grup yang pada tahun 1998 memiliki aset sebesar Rp 11,5 triliun itu juga mulai merambah ke bisnis keramik, metal dan gelas.

Awal mula kasus cessie Bank Bali

Skandal cessie Bank Bali bermula saat bank tersebut kesulitan menagih piutangnya yang tertanam di BDNI, Bank Umum Nasional (BUN), dan Bank Tiara pada 1997. Saat itu krisis moneter melanda sejumlah negara termasuk Indonesia.

Total piutang di ketiga bank tersebut mencapai Rp 3 triliun.

Namun, hingga ketiga bank itu masuk perawatan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan itu tak kunjung cair.

Saat itu, Djoko Tjandra menjabat sebagai direktur dan Setya Novanto yang kala itu sebagai Bendahara Umum Partai Golkar menjabat sebagai Direktur Utama-nya.

Perjanjian kerja sama pun diteken pada 11 Januari 1999 oleh Rudy Ramly, Direktur Bank Bali Firman Sucahya dan Setya Novanto. Dikatakan bahwa EGP akan menerima fee sebesar setengah dari piutang yang dapat ditagih.

Bank Indonesia dan BPPN akhirnya setuju untuk menggelontorkan uang sebesar Rp 905 miliar. Namun, Bank Bali hanya kebagian Rp 359 miliar, sedangkan Rp 546 miliar sisanya masuk ke rekening PT EGP.

Terkuak

Namun kasus itu terkuak ketika pakar hukum perbankan Pradjoto mengendus adanya korelasi dengan pengumpulan dana untuk memajukan Habibie sebagai presiden.

Kejanggalan itu terlihat dari total fee yang diterima EGP.

Selain itu, proses cessie juga tak diketahui BPPN. Padahal, BDNI saat itu sedang dirawat oleh BPPN.

Cessie itu juga tak dilaporkan ke Bapepam dan Bursa Efek Jakarta, meski Bank Bali telah melantai di bursa. Selain itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan EGP.

Kepala BPPN saat itu, Glenn MS Yusuf yang menyadari sejumlah kejanggalan itu akhirnya membatalkan perjanjian cessie.

Sebutan "Joker"

Pada 27 September 1999, Kejaksaan Agung mulai mengusut perkara pidana Djoko Tjandra.

Awalnya, Djoko sempat ditahan oleh kejaksaan pada 29 September 1999-8 November 1999. Namun setelah itu, ia berstatus tahanan kota hingga 13 Januari 2000.

Selain Djoko, Kejaksaan Agung diketahui menetapkan sejumlah nama sebagai tersangka yaitu mantan Gubernur BI Syahril Sabirin, Wakil Kepala BPPN Pande Lubis, mantan Menteri BUMN Tanri Abeng, dan Rudy Ramli.

Namun, dari sejumlah nama, hanya tiga yang akhirnya diadili yaitu Djoko Tjandra, Syahril dan Pande Lubis.

Meski sebelumnya Kejaksaan Agung sempat menahan Djoko pada 14 Januari-10 Februari 2000, Djoko akhirnya kembali menyandang status tahanan kota pada 10 Februari berkat ketetapan Wakil Ketua PN Jakarta Selatan.

Pada 6 Maret, putusan sela PN Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap Djoko tidak dapat diterima. Ia pun dilepaskan dari tahanan kota.

Mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman pernah menyebut Djoko Tjandra dengan nama "Joker".

Sebutan Joker ini muncul dalam percakapan antara Kemas Yahya Rahman dengan Artalyta Suryani, yang kemudian menjadi terpidana kasus suap jaksa terkait kasus BLBI.

Kemas sendiri dianggap tak terlibat dalam kasus itu, meski sempat diperiksa internal Kejaksaan Agung dan KPK. Dalam pemeriksaan dan sidang terungkap bahwa nama "Joker" dalam percakapan itu adalah Djoko S Tjandra.

Jaksa pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dalam rentang April-Agustus 2000, jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar mengajukan dakwaan berupa dugaan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.

Ia pun dituntut hukuman penjara 1 tahun 6 bulan. Namun majelis hakim yang diketuai Soedarto dan Muchtar Ritonga serta Sultan Mangun sebagai anggota itu justru melepaskan Djoko Tjandra dari segala tuntutan.

Dalam putusannya, majelis menyatakan dakwaan JPU terbukti secara hukum. Namun, perbuatan itu dinilai bukan sebagai perbuatan pidana, melainkan perdata.

Vonis 2 tahun

Antasari pun mengajukan kasasi ke MA. Namun, majelis hakim agung MA kembali melepaskan Djoko Tjandra dari segala tuntutan.

Putusan itu diambil dengan mekanisme voting karena adanya perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap, dengan hakim Artidjo Alkostar.

Belakanganya, pada Oktober 2008, Kejagung mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA.

Majelis PK yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa dan Artidjo Alkostar menerima PK yang diajukan jaksa.

Selain menjatuhkan vonis 2 tahun penjara atau lebih berat dari tuntutan jaksa di tingkat banding, uang milik Djoko di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.

Kabur

Namun, sehari sebelum putusan atau pada 10 Juni 2009, Djoko berhasil melarikan diri dengan menggunakan pesawat carter ke Port Moresby, Papua Nugini.

Bahkan, pada 2012, pihak Papua Nugini memberikan status kewarganegaraan kepada Djoko Tjandra.

Mantan Jaksa Agung M Prasetyo pernah mengungkap betapa sulitnya menangkap Djoko Tjandra karena status kewarganegaraan mereka yang telah berubah.

"Itu kesulitan yang kami hadapi. Termasuk Samadikun itu punya lima paspor. Ada di antara mereka, Edy Tansil, Djoko Tjandra sudah pasti mengubah kewarganegaraan," ujar Prasetyo pada 25 April 2016 lalu.

Prasetyo menduga Djoko telah dilindungi oleh negaranya saat ini.

Belakangan, Djoko dikabarkan sempat berpindah ke Singapura. Hal itu juga turut membuat Pemerintah Indonesia kesulitan dalam menangkapnya lantaran belum adanya perjanjian ekstradisi dengan Singapura.

"Kalau kami mengejar orang dan kami makan di restoran yang sama, tidak bisa begitu saja mencoba mengambil dia. Seperti itu kira-kira," kata Prasetyo.

Ajukan PK

Belakangan, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengaku kecolongan oleh Djoko Tjandra. Sebab, ia mendapat informasi bahwa Djoko Tjandra sudah berada di Indonesia sejak tiga bulan lalu.

Djoko Tjandra muncul setelah sebelas tahun buron. Selama ini, Djoko Tjandra diketahui kerap berada di Malaysia atau Singapura.

Tak hanya itu, Djoko Tjandra juga telah mengajukan PK ke PN Jaksel.

Ia mengaku begitu sakit hati dengan informasi tersebut. Sebab Kejaksaan Agung telah berupaya untuk menangkap Djoko Tjandra, tetapi selalu kesulitan.

"Yang melukai hati saya, saya dengar Djoko Tjandra bisa ditemui dimana-mana, di Malaysia dan Singapura. Tapi kita minta kesana-sini juga tidak bisa ada yang bawa," ucap Burhanuddin.

"Informasinya lagi yang menyakitkan hati saya adalah katanya tiga bulanan dia ada di sini. Baru sekarang terbukanya," imbuhnya.

Kendati sidang PK telah bergulir sejak kemarin, namun Djoko Tjandra tidak menghadiri sidang tersebut.

"Yang bersangkutan tidak datang dengan alasan sakit," kata Humas PN Jaksel Suharno saat dihubungi.

https://nasional.kompas.com/read/2020/06/30/13281371/djoko-tjandra-sosok-joker-di-balik-kasus-cessie-bank-bali

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke