JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Save Mahkamah Konstitusi (MK) menyoroti isi dari revisi Undang-undang (RUU) MK yang dinilai tidak substansial.
Salah satu perwakilan koalisi dari Kode Inisiatif, Violla Reininda mengatakan, poin-poin revisi tidak memiliki substansi penting untuk kelembagaan MK itu sendiri.
Sebab, secara garis besar revisi hanya menyasar masa jabatan Hakim MK.
"Praktis (revisi) hanya menyoal masa jabatan Hakim MK. Jika membandingkan dengan lembaga peradilan lainnya seperti Mahkamah Agung (MA), publik akan menemukan perbedaan yang cukup mencolok," ujar Violla sebagaimana dikutip dari keterangan pers Koalisi Save MK, Jumat (8/5/2020).
Violla menjelaskan, untuk menjadi seorang Hakim Agung mensyaratkan usia minimal 45 tahun.
Batas usia ini jauh lebih muda dibandingkan poin dalam RUU MK.
"Apalagi tren di banyak negara, rata-rata pengaturan mengenai minimal usia hakim konstitusi ada di usia 35-45 tahun. Sementara usia 65-75 tahun justru usia untuk pensiun," kata Violla.
Pertimbangan lainnya, untuk mengukur integritas dan kapabilitas tidak bisa hanya mengandalkan usia seseorang.
"Sehingga Akan lebih baik jika poin perubahan terletak pada syarat kualitas dari seorang Hakim MK," tegas Violla.
Koalisi juga menyoroti naskah RUU ini yang diduga cacat formil dan tak sejalan dengan kebutuhan dan kehendak publik.
Diketahui, RUU MK tidak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2020. Sehingga menurut Violla, pembahasannya tidak bisa dilakukan tahun ini.
Terakhir, koalisi menyoroti keberadaan RUU yang tidak mendesak.
Sebab pemerintah saat ini tengah berfokus pada isu kemanusiaan akibat pandemi Covid-19.
"Untuk itu, yang semestinya dilakukan DPR adalah mengarahkan segala fungsinya baik legislasi, anggaran, dan pengawasan pada penanganan permasalahan kesehatan masyarakat tersebut, bukan membentuk undang-undang yang bermuatan kontroversial," tambah Violla.
Sebelumnya Violla mengatakan, dalam naskah RUU yang beredar di masyarakat setidaknya ada empat belas poin perubahan dalam aturan tersebut.
Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut permasalahan pokok berada pada tiga ketentuan.
Pertama, soal kenaikkan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, dari 2 tahun 6 bulan menjadi 5 tahun, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) RUU MK.
Kedua, menaikkan syarat usia minimal Hakim Konstitusi, dari 47 tahun menjadi 60 tahun, sebagaimana direncanakan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d RUU.
Ketiga, masa jabatan hakim konstitusi diperpanjang menjadi hingga usia pensiun, yaitu hingga usia 70 tahun.
Sementara itu, kata Violla, sebelumnya dalam satu periode, hakim konstitusi menjabat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Hal ini terlihat dari dihapusnya ketentuan Pasal 22 dalam RUU dan Pasal 87 huruf c yang memperpanjang usia pensiun hakim konstitusi, dari 60 tahun menjadi 70 tahun.
Masih dalam Pasal 87 c, disebutkan juga bahwa apabila hakim MK pada saat jabatannya berakhir telah berusia 60 tahun, maka meneruskan jabatannya sampai usia 70 tahun.
Sementara untuk yang tidak mencapai, dapat ikut seleksi kembali jika usianya sudah mencapai 60 tahun.
"Perubahan ini disinyalir menjadi cara untuk “menukar guling” supaya MK dapat menolak sejumlah pengujian konstitusionalitas yang krusial, seperti Revisi UU KPK dan Perppu Penanganan Covid-19," tambah Violla.
Adapun Koalisi Save MK terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Kode Inisiatif, Pusako FH Universitas Andalas, Pukat UGM dan YLBHI.
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/08/19080821/koalisi-masyarakat-nilai-revisi-uu-mk-tak-substansial