Pemohon dalam perkara ini adalah Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarief dan Saut Sitomorang, bersama 10 orang pegiat antikorupsi.
Dalam permohonannya, Pemohon mempersoalkan prosedur pembentukan revisi UU KPK yang dilakukan pemerintah dan DPR pada pertengahan September 2019.
"Satu hal menarik dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 ini adalah tidak terpenuhinya kuorum saat kemudian rapat sidang paripurna mengenai undang-undang ini," kata Kuasa Hukum pemohon, Feri Amsari, dalam persidangan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019).
Dalam catatan Pemohon, setidaknya, ada sekitar 180 anggota DPR yang tidak hadir sidang paripurna dan menitipkan absennya.
Sehingga, seolah-olah ada 287 hingga 289 anggota DPR yang hadir dan memenuhi kuorum, padahal secara fisik mereka tidak ada.
Dalam ketentuan tata tertib DPR dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, disebutkan bahwa kata "dihadiri" merujuk pada kehadiran secara fisik.
Sehingga, jika secara fisik tidak ada, maka tidak bisa disebut hadir.
"Oleh karena itu, kami merasa tindakan anggota DPR membiarkan titip absen itu merusak segala prosedural pembentukan perundang-undangan, sehingga aspirasi publik yang semestinya terwakili dari kehadiran mereka, menjadi terabaikan," ujar Feri.
Tidak hanya itu, Pemohon juga mempersoalkan tidak adanya perwakilan KPK yang diikutsertakan dalam pembahasan revisi UU KPK.
Padahal, KPK merupakan bagian dari eksekutif dan lembaga yang berkaitan dengan pokok-pokok revisi undang-undang.
Pemerintah melalui surat presiden (surpres) tentang revisi UU KPK saat itu hanya mengirimkan dua perwakilan pemerintah, yaitu Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
"Menurut kami tidak salah dikirim dua ini, hanya semestinya juga dilibatkan KPK. Karena bagian dari eksekutif dan berkaitan langsung," kata Feri.
Atas hal-hal tersebut, Pemohon meminta MK menunda pemberlakuan UU KPK hasil revisi.
Pemohon juga meminta MK menyatakan UU Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum yang mengikat.
Tidak hanya itu, Agus Rahardjo dan kawan-kawan juga meminta MK menyatakan UU KPK hasil revisi cacat formil dan cacat prosedural sehingga aturan dimaksud tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum.
"Dalam pokok permohonan mahkamah menjatuhkan, mengabulkan, permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Feri, yang juga pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas.
Untuk diketahui, Agus Rahardjo, Laode M Syarief, hingga Saut Situmorang mengajukan gugatan UU KPK hasil revisi ke MK, 20 November 2019.
Selain ketiga nama pimpinan KPK itu, uji materi juga dimohonkan sepuluh pegiat antikorupsi, antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Mochamad Jasin serta beberapa nama lain, yaitu Betty Alisjahbana, Ismid Hadad, dan Tini Hadad.
Pemohon didampingi oleh 39 pengacara yang juga pegiat antikorupsi dari berbagai kalangan.
https://nasional.kompas.com/read/2019/12/09/17092311/sidang-perdana-agus-rahardjo-dkk-minta-mk-nyatakan-uu-kpk-bertentangan