Menurut Hamdan, hal itu bukan menjadi kebutuhan negara saat ini.
"Enggak ada urgensi. Bagi saya itu bukan sebuah kebutuhan bangsa, bukan kebutuhan negara. Kebutuhan negara saat ini adalah konsistensi," kata Hamdan saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).
Hamdan mengatakan, amandemen hanya diperlukan jika memang ada norma dalam Undang-Undang yang perlu diubah.
Kondisinya, jika norma itu tak diubah, akan menghambat efektivitas penyelenggaraan pemerintah untuk mencapai tujuan negara.
"Sepanjang analisis saya, saya tidak temukan di pasal-pasal UUD itu yang menghambat nilai-nilai negara," ujar Hamdan.
Hamdan menilai, dibanding dengan kebutuhan, wacana amandemen terbatas UUD 1945 ini lebih kepada sebuah keinginan.
"Kalau sekadar keinginan, maunya begini, menurut kami begini, ya susah. karena kalau mengikuti maunya, maunya orang itu banyak," katanya.
Usul supaya GBHN dihidupkan kembali salah satunya dilontarkan PDI Perjuangan. Dalam Kongres V di Bali, Sabtu (10/8/2019) lalu. PDI-P merekomendasikan amandemen terbatas 1945.
Dalam amandemen itu, menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan demikian, MPR memiliki wewenang dalam menetapkan GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.
"Kita memerlukan Garis Besar Haluan Negara atau pola pembangunan semesta berencana," kata Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto saat ditemui seusai kongres
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/28/19141571/hamdan-zoelva-nilai-amandeman-uud-1945-tak-urgen