Ini merupakan putusan atas permohonan uji materi Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidang putusan dilakukan pada Senin (23/7/2018) di Kantor MK, Jakarta. Adapun pemohon pengajuan uji materi adalah Muhammad Hafidz.
Berikut ini adalah lima poin penting putusan MK terkait larangan pengurus parpol untuk menjadi anggota DPD.
1. Frasa "Pekerjaan Lain"
Hafidz mengajuan permohonan uji materi Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yakni frasa "pekerjaan lain." Pasal 182 sendiri menjelaskan tentang persyaratan perseorangan untuk menjadi calon anggota DPD.
Pasal 182 huruf l berbunyi, "bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai ketentuan perundang-undangan."
Dalam frasa tersebut tidak dijelaskan secara rinci apakah pengurus parpol diperbolehkan mendaftar sebagai calon anggota DPD.
Jika pengurus parpol diizinkan mendaftar sebagai calon anggota DPD, maka ini dipandang bakal merugikan calon perseorangan.
2. Mayoritas dari Parpol
Dalam permohonannya, Hafidz yang peserta Pemilu 2014 untuk DPD dari calon perseorangan dan hendak kembali maju pada Pemilu 2019, melampirkan data mengenai profil anggota DPD. Data itu diperolehnya dari Indonesian Parliamentary Center.
Dari data tersebut, hingga akhir 2017, ada 78 dari 132 anggota DPD yang merupakan pengurus parpol.
Berdasarkan data itu, yang terbanyak adalah berasal dari Partai Hanura (28 orang), Partai Golkar (14 orang), Partai Persatuan Pembangunan atau PPP (8 orang), Partai Keadilan Sejahtera atau PKS (6 orang), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Hafidz melalui permohonannya menyatakan, apabila anggota DPD berasal dari parpol, maka akan ada benturan kepentingan. Anggota DPD yang bersangkutan bisa saja lebih mengutamakan kepentingan parpol tempat ia bernaung.
"Akan menjadi tidak terhindarkan terjadi benturan kepentingan yang berujung pada berubahnya original intent pembentukan DPD sebagai representasi daerah," tulis Hafidz dalam permohonannya.
MK sendiri berpandangan, pelarangan pengurus parpol sebagai anggota DPD untuk menghindari adanya distorsi politik. Distorsi yang dimaksud adalah berupa lahirnya perwakilan ganda atau double representation parpol dalam pengambilan keputusan.
Ini termasuk juga adalah dalam keputusan politik penting seperti perubahan Undang-undang Dasar (UUD).
4. Konsistensi MK
MK menyatakan konsistensinya untuk melarang pengurus parpol menjadi anggota DPD. MK pun sebelumnya telah menerbitkan putusan pula terkait keanggotaan DPD, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008.
Kemudian, MK juga menerbitkan putusan terkait kewenangan DPD, yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014.
"Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya," kata Hakim MK I Dewa Gede Palguna.
5. Mundur dari partai
MK menyatakan, ada kemungkinan pengurus parpol terdampak keputusan tersebut. Terkait hal ini, MK menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat memberikan kesempatan bagi pengurus parpol untuk mengundurkan diri dari keanggotaannya di partai.
"KPU dapat memberikan kesempatan bagi yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan parpol," tulis MK.
Pengunduran diri tersebut dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang bernilai hukum perihal pengunduran diri yang dimaksud.
Dengan demikian, untuk selanjutnya anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu setelahnya yang menjadi pengurus parpol adalah bertentangan dengan UUD 1945.
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/24/08553721/5-poin-penting-dari-putusan-mk-larang-pengurus-parpol-jadi-anggota-dpd