JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menganggap pembentukan panitia khusus hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan kesesatan yang berkelanjutan.
Menurut dia, sejak awal pembentukan pansus oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui prosedur yang sesat. Secara khusus, Pasal 199 ayat (3) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Undang-Undang MD3) menghendaki dilakukannya mekanisme voting agar usul penggunaan angket menjadi hak angket.
"Namun mekanisme ini tidak dijalankan oleh DPR sehingga Pansus yang berjalan saat ini cacat prosedur pembentukan," ujar Feri melalui keterangan tertulis, Senin (10/7/2017).
Jika tindakan lembaga negara tidak sesuai hukum, kata Feri, maka harus batal demi hukum.
Di samping itu, diduga ada konflik kepentingan dalam pembentukan pansus hak angket. Sebab, pansus diisi orang-orang yang disebut menerima uang hasil korupsi e-KTP yang tengah ditangani KPK.
(Baca: Manuver Pansus Hak Angket Dicurigai Berujung pada Revisi UU KPK)
"Terhadap kondisi conflict of interest tersebut, pansus hak angket sudah dapat dikategorikan disqualification atau recusal atau tidak sah," kata Feri.
Selain itu, pembentukan pansus hak angket terhadap KPK dianggap melanggar konsep independensi KPK. Penyimpangan lembaga penyelidik, penyidik, dan penuntut serta peradilan dalam lembaga kekuasaan kehakiman dikoreksi melalui putusan peradilan.
Jika KPK menyimpang dalam proses penyelidikan, maka yang berkeberatan bisa mengujinya lewat praperadilan. Jika dalam proses penyidikan dan penuntutan terdapat penyimpangan, maka peradilan dapat mengoreksi dan "mengalahkan" KPK melalui putusan.
"Pola demikian untuk menjamin independensi aparat penegak hukum dan menjauhkannya dari intervensi kepentingan politik," kata dia.
(Baca: Ini Sejumlah Cerita Napi Koruptor kepada Pansus Angket KPK)
Terlebih lagi, pansus meminta keterangan terpidana kasus korupsi. Feri menganggap hal tersebut tidak logis karena kasus mereka sudah berkekuatan hukum tetap sehingga tidak lagi berpengaruh pada penyidikan pansus.
Menurut Feri, langkah tersebut jelas tujuannya untuk mengumpulkan informasi berbasis kebencian kepada KPK dengan meminta keterangan orang-orang yang dihukum melalui kewenangan KPK.
"Itu sama saja meminta keterangan kepada narapidana pidana umum terhadap kinerja kepolisian, kejaksaan, dan hakim. Tentu narapidana tersebut hal-hal negatif terhadap kinerja aparat penegak hukum," kata Feri.
(Baca: Saat Rakyat Menuntut Para Wakilnya soal Hak Angket...)
"Pilihan pansus angket itu jelas mengungkapkan bahwa tujuan pansus hanyalah untuk mematikan KPK melalui berbagai cara," lanjut dia.
Terakhir, menurut Feri, Pansus hak angket nampak kesulitan membedakan pakar dan advokat. Sejauh ini pansus hanya mengumpulkan keterangan ahli dari pihak-pihak yang pro agar KPK dilimpuhkan.
Beberapa ahli yang dipanggil pansus juga diragukan posisinya sebagai akademisi murni atau advokat. Semestinya, kata Feri, ahli yang diundang murni sebagai ahli yang menjalankan profesi akademik atau penelitian, daripada ahli yang memiliki dua label sebagai advokat.
"Advokat tentu saja profesi mulia, tetapi profesi ini dirancang untuk berpihak pada kepentingan kliennya," kata Feri.