JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pemilu, Lukman Edy mengatakan, Mahkamah Agung (MA) mengeluhkan keterbatasan jumlah hakim untuk menangani potensi perkara perselisihan proses dan pidana pemilu.
Hal itu disampaikan saat Pansus Pemilu berkunjung ke MA, Rabu (14/12/2016).
"Begitu banyak perkara, dengan jumlah hakim terbatas, MA ingin menolak adili perkara-perkara ini. Di samping SDM hakim yang tidak ter-upgrade soal kepemiluan, mereka harus diklat atau sertifikasi hakim-hakim soal kepemiluan minimal 14 hari tapi enggak punya dana," ujar Lukman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/12/2016).
Lukman menambahkan, minimnya jumlah hakim ini membuat kondisi menjadi berat saat MA harus menangani sengketa proses dan pidana pemilu nantinya.
(Baca: Di RUU Pemilu, MA Berwenang Batalkan Capres yang Lakukan Politik Uang)
MA, kata dia, memerlukan tambahan paling tidak 1.500 hakim baru untuk bisa menyukseskan pemilu 2019 dari sisi penegakan hukum.
"Selama enam tahun mereka kehilangan hakim karena enggak ada rekrutmen hakim. MA minta fasilitasi mencabut moratorium penerimaan PNS khususnya hakim-hakim," ujar Politisi PKB itu.
Selain itu, dalam pertemuan Pansus dan MA, MA juga menginginkan tambahan kantor Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang saat ini hanya ada empat di Indonesia.
Sementara dalam draf RUU dinyatakan bahwa sengketa proses pemilu paling tinggi dilakukan di PTTUN sebagai pemutus akhir yang mengikat.
"Melihat kompleksitas pemilu, mereka anggap tidak siap hanya 4 PTTUN. Minimal 6, kalau bisa 10. Kita ada 34 provinsi. Mereka minta difasilitasi agar suksesnya Pemilu 2019 MA di-support meningkatkan infrastruktur," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.