Dalam wawancara khusus dengan Kompas, Senin (6/1/2013), Megawati menyatakan, persoalan fundamental bangsa Indonesia saat ini adalah kehilangan jejak sejarah. Banyak generasi muda yang tidak memahami sejarah bangsanya dan hal ini sangat mengkhawatirkan.
”Bagaimanapun suatu bangsa akan mengetahui jati dirinya jika mengetahui akar sejarahnya. Tanpa mengenal jejak sejarah bangsa sendiri, kita akan kehilangan arah,” katanya.
Megawati menyoroti bagaimana bangsa Indonesia mengalami sebuah euforia reformasi setelah selama 33 tahun Orde Baru mengalami pemerintahan yang represif. Namun, sayangnya, tidak ada arah yang jelas untuk menata perubahan yang menjadi inti reformasi itu.
Arus politik yang saat itu menginginkan adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 seperti tidak terbendung. Bukan hanya sekali amandemen, melainkan hingga empat kali. Megawati justru merasa amandemen sudah kebablasan.
”Saya melihat sekarang justru perjalanan jejak kita menjadi seperti tidak terarah dan terukur,” katanya.
Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dalam amandemen itu, tidak lagi sebagai lembaga tertinggi. Tidak ada lagi lembaga yang menentukan arah pembangunan bangsa dalam jangka panjang dan berkesinambungan. Dengan amandemen tersebut, arah bangsa menjadi dibatasi periodisasi presiden dengan visi misinya. Batasannya, maksimal 10 tahun, itu pun jika presiden terpilih dalam dua periode.
Ia mengibaratkan pembangunan sebuah jembatan yang membutuhkan kalkulasi panjang. Ketika hadir pemimpin baru dan muncul pemikiran yang berbeda dari pemimpin sebelumnya, yang terjadi adalah dibangun jembatan baru dengan rute lain sehingga tidak jelas kelanjutan dari jembatan yang direncanakan awal.
Dalam pandangan Megawati, perubahan dalam reformasi semestinya lebih tertata dengan baik. Pada masanya, Bung Karno membuat konsep Pembangunan Semesta Berencana. Pada era Presiden Soeharto, MPR menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sehingga siapa pun pemimpinnya akan tahu perencanaan ke depan secara jelas.
”Apa pun yang dilakukan pemimpin harus ikut yang diputuskan MPR (dalam GBHN). Itu yang kita hilang,” katanya.
Lahirkan pemimpin mudaMegawati memang memiliki keresahan akan jejak sejarah yang mungkin hilang. Dengan kondisi bangsa saat ini, Megawati juga memiliki keresahan akan tantangan yang akan dihadapi pemimpin ke depan.
Namun, Megawati tidak hanya resah dan berdiam diri. Sebagai tokoh politik yang berpengalaman lebih dari 20 tahun memimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati membuktikan diri mampu melahirkan pemimpin-pemimpin muda potensial.
Dari tangan dinginnya, lahir pemimpin potensial, seperti Gubernur DKI Joko Widodo, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Lantas bagaimana resepnya dalam menggembleng tokoh-tokoh muda itu?
Megawati mengaku tidak mudah ketika pertama kali memimpin partai ”kampung” yang anggotanya kebanyakan dari kalangan bawah. Dengan kesabarannya, ia berjuang mendidik anggotanya dengan menggunakan roh ideologi Pancasila. Roh ideologi Pancasila tersebut terus dibumikan sehingga mereka memiliki keyakinan bahwa Pancasila dapat memerdekakan dan menyejahterakan bangsa. Ia juga terus memperhatikan rekam jejak kader-kadernya.
”Seorang pemimpin harus mempunyai kesabaran revolusioner. Kesabaran yang bergerak, tidak hanya menunggu. Kami terus melakukan sesuatu, memperbaiki diri,” katanya.
Jika saat ini banyak pemimpin muda yang muncul dari hasil kaderisasi yang dilakukannya, Megawati mengaku hanya memberikan ruang dan kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan diri.