Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Dissenting Opinion" Pertama dalam Sejarah Sengketa Pilpres, Hampir Bikin Pemilu Ulang

Kompas.com - 23/04/2024, 07:55 WIB
Vitorio Mantalean,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejarah terjadi pada sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (22/4/2024). Untuk kali pertama, majelis hakim tidak bulat dalam memutus dugaan kecurangan pemilu.

Dari 8 hakim yang memutus sengketa ini, 5 hakim setuju menolak permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, sedangkan 3 lainnya menyatakan tidak setuju (dissenting opinion, pendapat berbeda) atas penolakan itu.

 

Seandainya Ketua MK Suhartoyo masuk dalam kelompok hakim yang dissenting, skor akan menjadi 4-4 dan MK bisa saja memutus pemungutan suara ulang (PSU) sebagaimana diminta para pemohon.

Baca juga: 5 Poin Penting Putusan MK yang Tolak Gugatan Sengketa Pilpres Ganjar dan Anies

Pasalnya, dalam skor imbang, putusan yang diambil akan melihat di mana posisi ketua sidang, dalam hal ini Suhartoyo.

Saldi Isra bandingkan pemilu zaman Soeharto

Wakil Ketua MK Saldi Isra mengkritik putusan mayoritas hakim yang dinilai hanya berfokus pada keadilan prosedural dalam penyelenggaraan pemilu, padahal itu tidak serta-merta mencerminkan keadilan substansial.

Ia menjelaskan, secara prosedural, pelaksanaan pemilu mungkin sudah berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan, di mana apabila terjadi pelanggaran dan ditangani sesuai dengan mekanisme yang tersedia, maka sudah terkategori sebagai pemilu yang jujur dan adil.

"Melampaui batas keadilan prosedural itu, asas jujur dan adil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tidak hendak berhenti pada batas keadilan prosedur semata," ujar Saldi usai pembacaan putusan, Senin (22/4/2024).

Baca juga: Respons Kubu Anies, Prabowo, dan Ganjar Usai MK Tolak Gugatan Pilpres 2024

"Sebab, pemilu di masa Orde Baru pun berjalan memenuhi segala prosedur yang ada, yaitu dilaksanakan dengan memenuhi standar mekanisme yang ditentukan dalam UU Pemilu saat itu," ujar dia.

"Namun secara empirik, pemilu Orde Baru tetap dinilai curang, karena secara substansial pelaksanaan pemilunya berjalan dengan tidak fair, baik karena faktor pemihakan pemerintah pada salah satu kontestan pemilu, maupun karena faktor praktik penyelenggaraan pemilu yang tidak memberi ruang kontestasi yang adil bagi semua kontestan pemilu," jelas Saldi.

Ia menyinggung, asas jujur dan adil dalam norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menghendaki sebuah keadilan dan kejujuran pemilu yang lebih materil.

"Jujur dan adil yang dikehendaki bukan hanya sekadar sikap patuh pada aturan, melainkan sikap tidak berlaku curang, tidak berbohong dan tidak memanipulasi atau memanfaatkan celah hukum/kelemahan aturan hukum pemilu yang ada untuk melakukan tindakan yang secara esensial merupakan praktik curang dalam sebuah kontestasi," terangnya.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) dan Arief Hidayat (kanan) memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa.ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) dan Arief Hidayat (kanan) memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa.

Ia juga menyoroti ketidaksetujuannya terhadap pandangan MK berkaitan dengan tidak adanya hubungan antara pengerahan bantuan sosial (bansos) pada masa yang berimpitan dengan penyelenggaraan Pemilu 2024.

Menurutnya, peristiwa semacam itu harus dibaca secara lebih luas dengan menyingkap fakta-fakta di balik peristiwa.

Bukan tidak mungkin hal semacam itu, secara kontekstual, merupakan bentuk kamuflase dari dukungan pemerintah petahana atas calon penerus yang disukainya.

Ia mengibaratkannya sebagai asap yang membubung tinggi, namun tidak ada satu pun yang mampu menemukan titik apinya.

Baca juga: Hakim MK Dinilai “Bermain Mata” Maklumi Politik Anggaran Gentong Babi di Sengketa Pilpres

Halaman:


Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com