JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 17,3 juta suara rakyat hangus dan terbuang dalam Pileg DPR RI 2024. Jumlah sebesar itu dinilai karena imbas dari ambang batas parlemen/parliamentary threshold 4 persen.
Akibat ambang batas ini, hanya partai-partai politik yang berhasil meraup sedikitnya 4 persen suara sah nasional yang dapat mengonversi suaranya menjadi kursi di DPR RI.
Sementara itu, partai-partai politik lain yang mengantongi suara sah nasional kurang dari 4 persen, tidak dapat mengonversi suaranya menjadi kursi di Senayan, sebanyak apa pun suara yang calegnya dapatkan di daerah pemilihannya (dapil).
Hasil rekapitulasi suara sah nasional KPU RI, terhadap perolehan suara sah hasil rekapitulasi nasional KPU RI, total hanya 8 partai politik yang berhasil melampaui 4 persen suara sah nasional, yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PKS, PAN, dan Demokrat.
Baca juga: Tak Lolos Parliamentary Threshold, PBB: Mungkin Belum Jodoh di Pemilu 2024
Kedelapan partai itu secara total mengoleksi 134.492.327 suara atau 88,6 persen suara sah nasional.
Sementara itu, sebanyak 17.304.304 suara atau 11,4 persen suara sah nasional untuk 10 partai politik lain jadi terbuang, karena masing-masing dari mereka gagal tembus ke Senayan. Mereka adalah PPP, PSI, Perindo, Gelora, Hanura, Buruh, Ummat, PBB, Garuda, dan PKN.
Pakar pemilu Titi Anggraini menilai situasi ini merupakan distorsi terhadap kemurnian suara rakyat dan pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat.
Selain itu, keadaan ini juga tidak konsisten dengan sistem pileg proporsional yang diterapkan di Indonesia.
Baca juga: Sejumlah Kesalahan Suara Tak Terkoreksi, KPU Yakin Hitungan Pemilu 2024 Akuntabel
Sistem ini semestinya bisa menciptakan proporsionalitas hasil pileg di mana jumlah suara rakyat yang terbuang karena partai politiknya bukan pemenang pileg dapat ditekan.
"Jumlah suara terbuang atau wasted votes akibat ambang batas parlemen ini jauh lebih besar daripada total pemilih satu benua Australia," ujar Titi kepada Kompas.com, Jumat (23/3/2024).
"Pembentuk undang-undang harus mengoreksi besaran ambang batas ini agar lebih menghormati kemurnian dan representasi suara rakyat rakyat," lanjut dosen hukum kepemiluan Universitas Indonesia itu.
Pemerintah dan DPR kini punya pekerjaan rumah untuk melakukan hal itu, sebagai tindak lanjut Putusan MK Nomor 116/PUU-XX/2023.
MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk merumuskan kembali ambang batas parlemen dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu (1) didesain untuk digunakan secara berkelanjutan; (2) tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
Baca juga: Catatan Pemilu 2024 dari Komnas HAM, Netralitas Aparat Negara Banyak Dipertanyakan
MK juga meminta agar perumusan ulang ini (3) ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyerderhanaan partai politik; (4) selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029; dan (5) melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu dengan partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan ahli dan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.
"Penentuan besaran ambang batas harusnya dilakukan secara terukur, akuntabel, rasional, dan akademis. Mesti jelas formula dan ratio legi apa yang digunakan pembentuk UU dalam merumuskan ambang batas parlemen," kata Titi.
"MK sudah memberi rambu-rambu yang jelas dalam menentukan ambang batas parlemen, mestinya hal itu yang dipatuhi oleh pembentuk UU," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.