Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Survei Litbang "Kompas": 49,5 Persen Responden Yakin Hak Angket Kecurangan Pilpres Terealisasi, 40,6 Persen Tak Yakin

Kompas.com - 04/03/2024, 12:45 WIB
Nicholas Ryan Aditya,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Jajak pendapat Litbang Kompas menyebutkan sebesar 49,5 persen responden yakin hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 bakal terealisasi.

Sebaliknya, 40,6 persen responden mengaku tidak yakin akan hal itu. Setidaknya ini terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas yang digelar pada 26-28 Februari 2024.

"Soal keyakinan bahwa usulan ini mudah diwujudkan di DPR terlihat disikapi secara terbelah. Hampir separuh responden (49,5 persen) yakin hal itu akan terwujud, tetapi sebagian yang lain (40,6 persen) menyatakan ketidakyakinannya," tulis peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu, dikutip Kompas.id, Senin (4/3/2024).

Baca juga: Survei Litbang Kompas: 62,2 Persen Responden Setuju Hak Angket untuk Selidiki Dugaan Kecurangan Pilpres

Yohan menjelaskan, bersamaan dengan itu, sebagian besar responden juga meyakini rencana hak angket bisa mendapat dukungan mayoritas atau lebih banyak partai politik di DPR.

Mereka yang meyakini hal tersebut sebesar 49,5 persen, sedangkan yang tidak yakin 40,6 persen. Adapun responden yang menjawab tidak tahu sebesar 9,9 persen.

Lebih jauh, Yohan menilai rencana hak angket tersebut tetap tida mudah dan akan bergantung pada soliditas masing-masing kubu.

Ia lantas menjabarkan komposisi kursi partai politik parlemen antar masing-masing kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden, baik yang mendukung rencana hak angket maupun menolak.

Pasangan capres dan cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, misalnya, dari koalisi partai politik pengusungnya, hanya ada PDI-P (128 kursi) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan 19 kursi. Kubu Paslon nomor urut 3 ini sebagai pihak pendukung rencana hak angket.

Baca juga: Era Jokowi Tak Ada Hak Angket, Jimly: 10 Tahun Kok DPR-nya Memble

Kemudian, kubu partai politik Paslon nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar juga memberikan sinyal dukungan terhadap hak angket.

Partai politik pengusung Anies-Muhaimin di parlemen, yakni Partai Nasdem dengan 59 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 58 kursi, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 50 kursi.

"Jika jumlah kursi DPR kelima partai politik pengusung Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin ini dijumlahkan, berarti total mereka menguasai 314 kursi DPR atau 54,6 persen dari total kursi DPR," ungkap Yohan.

Baca juga: Jimly Asshiddiqie: Hak Angket Ini untuk Memindahkan Kemarahan Publik ke Ruang Sidang

Sementara itu, kubu yang cenderung menolak usulan hak angket adalah partai-partai politik pengusung pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, seperti Partai Gerindra (78 kursi), Golkar (85 kursi), Partai Amanat Nasional (44 kursi), dan Partai Demokrat (54 kursi).

Maka, total kursi yang dikuasai kubu ini mencapai 261 kursi atau 45,4 persen dari total kursi DPR.

"Meskipun secara komposisi kursi sudah menunjukkan peta kekuatan di parlemen, bukan berarti hak angket lebih mudah. Soliditas antarkubu, baik yang mendukung maupun yang menolak, juga masih belum menunjukkan kepastian," ujar peneliti Litbang Kompas ini.

"Sikap Ketua Majelis Kehormatan PPP Zarkasih Nur, misalnya, yang mendorong Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP tidak perlu ikut mengajukan hak angket, memberikan sinyal potensi perubahan konstelasi antarkubu partai di parlemen terkait hak angket tersebut," dirinya mencontohkan.

Baca juga: Survei Litbang Kompas: 49,5 Persen Responden Khawatir Hak Angket Berujung Pemakzulan Presiden

Sebagai informasi, jajak pendapat Litbang Kompas melibatkan 512 responden dari 38 provinsi yang diwawancara.

Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.

Tingkat kepercayaan Litbang Kompas sebesar 95 persen dengan margin of error lebih kurang 4,33 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Nasional
Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com