PADA pemilu kali ini, tren penggunaan influencer semakin menemukan momentum. Dengan ‘rich potential’ yang besar dalam menjangkau pemilih, influencer menjadi primadona dalam kandidasi politik.
Influencer merujuk pada mereka yang memiliki pengaruh signifikan di media sosial atau di dalam suatu industri tertentu. Punya pengikut yang besar dan interaksi tinggi, mereka dapat memengaruhi opini, perilaku, atau keputusan pengikutnya.
Itu sebabnya, influencer menjadi entitas yang penting, wara-wiri diundang ke berbagai forum, ikut rombongan kampanye, atau menghadiri pertemuan yang lebih personal, seperti makan dan pertemuan terbatas.
Beberapa influencer memang bergabung di ranah politik praktis karena punya kesamaan pandangan politik, namun tak sedikit pula yang berafiliasi dengan alasan yang boleh dibilang realistis.
Bagi yang ikut dengan kesadaran politik tentu adalah hal yang lumrah, harus dihormati sebagai bagian dari warga negara yang punya hak untuk turut serta berpartisipasi dalam pembangunan (politik).
Namun yang kemudian perlu menjadi catatan dari fenomena ini adalah, adanya kecenderungan untuk mengeksploitasi influencer oleh para politisi dalam kontestasi politik. Sementara pada sisi lain, ada semacam pragmatisme yang akut dari para influencer, memanfaatkan momentum politik.
Melihat potensi pengikut atau followers yang besar, para politisi, termasuk kontestan pilpres, kemudian menarik para influencer masuk ke ranah politik, menjadi pendulum suara dan agen sosialisasi politik.
Ada influencer yang kemudian memainkan peran dengan baik. Mereka mampu mengartikulasikan pandangan, gagasan dan pesan dari orang atau politisi yang di-endorse itu, menjadi instrumen pemenangan.
Tapi tak jarang pula, kalau tidak mau disebut banyak influencer yang kerap nir gagasan atau pengetahuan soal kandidat, maupun konteks politik secara luas. Boleh dikata sekadar ikut-ikutan, panjat sosial.
Model influencer yang terakhir ini biasanya akan meng-endorse atau ikut keinginan dan kemauan politik dari yang membayar, sebagian bahkan sudah punya red card tersendiri, ibarat mau endorse produk komersial, “wani piro”, kira-kira begitu kata mereka.
Namun tak sedikit juga yang ‘main cantik’, tetap ingin terlihat eksis, dengan menghadiri undangan dari kandidat atau petinggi politik, tapi enggan masuk dalam polarisasi dukung mendukung di ranah politik.
Mereka sepertinya mau tetap memelihara relasi atau hubungan baik dengan para elite politik, tapi tak siap ditinggalkan oleh followers yang tidak sehaluan politik.
Itu sebabnya ada influencer yang terlihat menghadiri acara atau kegiatan politik, tapi pas dicek atau ikuti akun media sosialnya, tidak terlihat ada postingan soal kegiatan politik yang dihadiri itu.
Sesuatu yang pasti adalah keberadaan para influencer telah menjadi fenomena baru dalam politik kontemporer. Di mana hubungan antarindividu dengan idola direct melalui platform media sosial, yang kemudian ikut memengaruhi preferensi politik.
Hal ini memungkinkan para idola (influencer) yang punya pengaruh atau memiliki pengikut relatif besar di media sosial, dimanfaatkan untuk menggarap ceruk pemilih yang jauh lebih luas dengan efektif.
Apalagi pengguna media sosial aktif adalah segmen politik yang tergolong besar, rata-rata adalah kalangan Milenial dan Gen-Z yang jumlahnya 50 persen lebih dari total pemilih di Indonesia .
Dari respons followers juga bisa dilihat kecenderungan apa yang sedang mengemuka, sehingga bisa digunakan untuk merancang atau menentukan konten yang lebih tepat dan relevan mempersuasi pemilih.
Sebagai katalisator politik, “keseksian” influencer bahkan kini mengalahkan daya tarik pimpinan organisasi kepemudaan.