JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menilai, tidak ada yang salah dari pengangkatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango sebagai Ketua KPK sementara.
"Saya tidak melihat adanya cacat yuridis pada pengangkatan Nawawi Pomolango sebagai Ketua KPK sementara," ujar Arsul saat dimintai konfirmasi, Senin (27/11/2023).
Ia beralasan, Nawawi diangkat sebagai Ketua KPK yang sifatnya sementara, bukan definitif. Pengangkatan ini dilakukan usai Ketua KPK sebelumnya, Firli Bahuri, diberhentikan usai diduga terlibat kasus pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
Baca juga: Istana Tegaskan Penetapan Nawawi Pomolango Sebagai Ketua Sementara KPK Sesuai Koridor Hukum
Selanjutnya, menurut Arsul mengatakan, pemberhentian Firli juga bersifat sementara, belum tetap.
"Tiga, Ketua KPK itu posisi yang menurut UU memang harus ada. Karena memang disebut di dalam UU KPK," tuturnya.
Keempat, kata Arsul, tidak ada komisioner KPK lain yang keberatan dengan pengangkatan Nawawi.
Semua Wakil Ketua KPK lainnya disebut telah menerima penunjukan Nawawi sebagai Ketua KPK sementara.
"Lima, posisi defintif bisa berubah orang setelah Firli Bahuri diberhentikan tetap dan ada pemilihan komisioner baru penggantinya oleh DPR dari eks calon terdahulu yang diajukan Presiden," kata Arsul.
Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara UGM Sebut Sah Pelantikan Nawawi Jadi Ketua KPK Sementara
"Itupun jika pemberhentiannya sebelum masa kepemimpinan KPK sekarang berakhir," sambungnya.
Sebelumnya, pakar hukum pidana Romli Atmasasmita menyatakan pelantikan Nawawi menggantikan Firli oleh Presiden Joko Widodo, terindikasi mengalami cacat hukum.
Menurut Romli, seharusnya Presiden Jokowi terlebih dulu mengajukan calon pengganti Firli ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan tidak menunjuk langsung Nawawi yang merupakan Wakil Ketua KPK.
"Prosedur penunjukkan Nawawi Pomolango untuk menggantikan Firli Bahuri selaku Ketua KPK mengandung cacat hukum sehingga prosedur penunjukkan dimaksud batal demi hukum dan karenanya segala tindakan hukum KPK dalam melakasanakan tugas dan wewenangnya menjadi tidak sah dan batal demi hukum atau dapat dibatalkan," kata Romli dalam keterangan pers yang dikutip pada Senin (27/11/2023).
Baca juga: Nawawi Pomolango Tegaskan Penangkapan Harun Masiku Masih Jadi Prioritas KPK
Romli mengatakan, mengacu kepada Pasal 70B Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang menyebutkan pada saat UU itu berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan beleid sebelumnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Selain itu, mekanisme pergantian pimpinan KPK yang ditetapkan menjadi tersangka diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden mengacu pada Pasal 32 ayat (2).
"Pasal 33 ayat (1), dalam hal terjadi kekosongan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia," kata Romli mengutip undang-undang.