JAGAD negeri gempar dengan putusan Mahakamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut menciptakan polemik di tengah masyarakat, banyak kalangan menilai ada kejanggalan, baik secara formil maupun materil dari putusan.
Putusan MK memberikan ketentuan tambahan alternatif pada pasal 169 q UU Pemilu, yaitu pengalaman pernah atau sedang menjabat dalam jabatan yang dipilih melalui pemilu dan pilkada untuk syarat usia minimal Capres dan Cawapres.
Polemik tersebut kini sedang disidangkan oleh Mahkamah Kehormatan MK. Putusan Mahkamah Kehormatan penting tidak saja bagi marwah Majelis Hakim dan kelembagaan MK, tetapi juga bagi legitimasi proses Pemilihan Presiden.
Apa yang legal secara hukum, belum tentu legitimate dalam pandangan publik. Legitimasi meski tidak berpengaruh pada legalitas putusan, namun penting karena terkait kepercayaan yang berakibat pada kepatuhan dan penerimaan masyarakat.
Tulisan ini tidak sedang membahas ataupun membantah berbagai kritik publik, juga tidak untuk membela putusan MK.
Tulisan ini dimaksudkan untuk merayakan kemenangan atas apa yang menjadi pertimbangan hukum MK dalam membangun argumentasi hukum dari amar putusan.
Rasanya terlalu sempit menempatkan putusan MK yang bersifat erge omnes (mengikat semua warga negara), jika hanya dikaitkan dengan benefit bagi orang perorang, ataupun jika hanya dihubungkan dengan pelaksanaan Pilpres 2024 saja.
Penulis memandang Putusan MK tersebut memiliki konsekuensi logis dan hukum yang sangat luas bagi perbaikan sistem pemilu ke depan.
Pertimbangan hukum sebagai tafsir konstitusional MK dalam putusan 90/PUU-XXI/2023, telah meruntuhkan benteng kokoh yang selama ini membatasi hak politik dan akses warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan melalui Pilpres.
Posisi Capres dan Cawapres yang selama ini bak menara gading yang tak mungkin bisa direngkuh warga negara kini terbuka lebar.
Pembatasan hak politik untuk menjadi Capres/Cawapres bertentangan dengan kehendak konstitusi, adalah kata kunci dari putusan MK 90/2023.
Inilah yang penulis maksud pesta merayakan kemenangan, merayakan kemenangan atas bergesernya pendirian tafsir konstitusi Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang berakibat luas.
Dengan berpegang pada mandat konstitusional dalam tafsir konstitusi Mahkamah pada pertimbangan hukum Putusan 90/2023, maka Mahkamah telah mengikat diri sebagai addressat untuk konsisten menggunakan pertimbangan hukum yang sama dalam menguji konstitusionalitas ambang batas Capres-Cawapres (Presidential Threshold).
Sejak berlakunya UU 7/2017 tentang Pemilu, tercatat ada 23 putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi presidential threshold. Jika dirunut sejak 2004, maka sudah ada 32 putusan MK terkait permohonan yang sama.
Dari berbagai permohonan uji materi terhadap ambang batas Capres-Cawapres tersebut, setidaknya ada dua isu konstitusionalitas yang diajukan oleh para pemohon.
Pertama, ambang batas presiden adalah bentuk pembatasan hak politik yang membuat pilihan rakyat dibatasi sehingga rakyat menjadi apatis.
Hukum atau UU Pemilu sejatinya harus memfasilitasi munculnya calon pemimpin alternatif agar persaingan semakin meningkat. Termasuk meningkatkan partisipasi dan kualitas pemimpin.
Pembatasan hak politik tersebut bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 D ayat (3) yang berbunyi "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan".
Pasal tersebut adalah pasal sama yang dijadikan batu uji dalam permohonan usia minimal Capres/Cawapres.