Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anwar Saragih
Peneliti

Kandidat Doktor Ilmu Politik yang suka membaca dan menulis

Gimik Politik di Balik Meja Makan Istana

Kompas.com - 01/11/2023, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PRESIDEN Jokowi mengundang tiga capres yang telah mendaftarkan diri ke KPU RI untuk makan siang bersama di Istana Merdeka Jakarta pada Senin, 30 Oktober 2023.

Baik Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto kompak memakai motif batik sama, yaitu batik parang yang secara filosofis menegaskan ketiganya siap mengarungi ombak pertarungan Pilpres 2024.

Sementara, Jokowi memilih memakai batik kontemporer yang jamak dipakai banyak orang tidak memiliki makna filosofis khusus.

Secara kasat mata, tujuan Jokowi mengundang ketiga capres tersebut ingin menjelaskan posisi politiknya netral di Pilpres 2024.

Namun di balik bahasa netral atau mendukung semua capres yang pernah disampaikan Presiden Jokowi dalam acara Peringatan Hari Santri Nasional 2023, tersirat pesan khusus.

Utamanya menyangkut keriuhan di media sosial pascakontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan gugatan syarat capres/cawapres minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah yang akhirnya menggolkan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres dari Prabowo.

Keriuhan ini tentu saja memusingkan Jokowi. Pasalnya diksi “mahkamah keluarga” yang menegasikan akronim dari MK (Mahkamah Konstitusi) dan bahasa “politik dinasti” menghadirkan sentimen negatif pada Jokowi di akhir masa kepemimpinannya.

Sentimen negatif ini bisa jadi merusak kepuasan publik terhadap Jokowi yang sebelumnya berada dikisaran angka di atas 80 persen.

Pun hal ini akan berdampak pula pada personal branding Jokowi sebagai sosok yang merakyat dan anti-KKN bertransformasi menjadi sosok yang dianggap elitis dan mendukung nepotisme dengan mendorong anaknya maju sebagai cawapres di masa dirinya masih menjabat sebagai presiden.

Selain alasan Gibran adalah putra sulung Jokowi, benturan kepentingan dengan MK di kemudian hari tidak bisa dihindari.

Pada ujung kontestasi Pilpres 2024, Gibran dalam kapastitas sebagai cawapres akan diadili oleh pamannya sendiri, yaitu Ketua MK Anwar Usman. Terlepas pada akhirnya Gibran menang atau kalah.

Apalagi berdasarkan pengalaman pilpres-pilpres sebelumnya yang selalu berakhir di gugatan Mahkamah Konstitusi, konflik kepentingan bisa terjadi dalam memutuskan sengketa hasil Pemilu 2024.

Jokowi sedari awal tentu mengerti situasi yang mentautkan dirinya sebagai presiden aktif, Gibran sebagai cawapres, dan Anwar Usman sebagai Ketua MK.

Dinamika penolakan, sinisme dan anggapan bahwa Pilpres 2024 tidak netral dan penuh intervensi kekuasaan adalah situasi yang mutlak tidak terelakkan.

Jika Jokowi salah melangkah, bukan tidak mungkin Pemilu 2024 akan diboikot oleh masyarakat seperti yang pernah terjadi saat Pemilu 1997 sebagai dampak dari intervensi pemerintah terhadap Pemilu dan dualisme di tubuh PDI.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Koalisi Vs Oposisi: Mana Cara Sehat Berdemokrasi?

Koalisi Vs Oposisi: Mana Cara Sehat Berdemokrasi?

Nasional
Pansel Capim KPK Diminta Tak Buat Kuota Pimpinan KPK Harus Ada Unsur Kejaksaan atau Kepolisian

Pansel Capim KPK Diminta Tak Buat Kuota Pimpinan KPK Harus Ada Unsur Kejaksaan atau Kepolisian

Nasional
Berkaca dari Kasus Firli, Pansel Capim KPK Diminta Lebih Dengarkan Masukan Masyarakat

Berkaca dari Kasus Firli, Pansel Capim KPK Diminta Lebih Dengarkan Masukan Masyarakat

Nasional
Sidang Kasus SYL Menguak Status Opini WTP BPK Masih Diperjualbelikan

Sidang Kasus SYL Menguak Status Opini WTP BPK Masih Diperjualbelikan

Nasional
Kemenag Sepakat Proses Hukum Penggerudukan Ibadah di Indekos Dilanjutkan

Kemenag Sepakat Proses Hukum Penggerudukan Ibadah di Indekos Dilanjutkan

Nasional
Soal Komposisi Pansel Capim KPK, Pukat UGM: Realitanya Presiden Amankan Kepentingan Justru Mulai dari Panselnya

Soal Komposisi Pansel Capim KPK, Pukat UGM: Realitanya Presiden Amankan Kepentingan Justru Mulai dari Panselnya

Nasional
PAN Lempar Kode Minta Jatah Menteri Lebih ke Prabowo, Siapkan Eko Patrio hingga Yandri Susanto

PAN Lempar Kode Minta Jatah Menteri Lebih ke Prabowo, Siapkan Eko Patrio hingga Yandri Susanto

Nasional
Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya

Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya

Nasional
Membedah Usulan Penambahan Kementerian dari Kajian APTHN-HAN, Ada 2 Opsi

Membedah Usulan Penambahan Kementerian dari Kajian APTHN-HAN, Ada 2 Opsi

Nasional
Zulhas: Indonesia Negara Besar, Kalau Perlu Kementerian Diperbanyak

Zulhas: Indonesia Negara Besar, Kalau Perlu Kementerian Diperbanyak

Nasional
Menag Cek Kesiapan Hotel dan Dapur Jemaah Haji di Madinah

Menag Cek Kesiapan Hotel dan Dapur Jemaah Haji di Madinah

Nasional
Usung Bima Arya atau Desy Ratnasari di Pilkada Jabar, PAN Yakin Ridwan Kamil Maju di Jakarta

Usung Bima Arya atau Desy Ratnasari di Pilkada Jabar, PAN Yakin Ridwan Kamil Maju di Jakarta

Nasional
[POPULER NASIONAL] Mahfud Singgung soal Kolusi Tanggapi Ide Penambahan Kementerian | Ganjar Disarankan Buat Ormas

[POPULER NASIONAL] Mahfud Singgung soal Kolusi Tanggapi Ide Penambahan Kementerian | Ganjar Disarankan Buat Ormas

Nasional
Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Nasional
Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com