JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej mengatakan, pemerintah berhasil meyakinkan negara-negara barat seperti Amerika dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menerima pasal kohabitasi atau pasal yang mengatur kegiatan "kumpul kebo" di KUHP.
Ia mengungkapkan, ketika KUHP disahkan pada 6 Desember 2022, perwakilan PBB, Amerika Serikat, Australia dan sejumlah negara barat mengritik soal ketentuan tersebut.
"Sehingga waktu itu dilakukan rapat terbatas oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan ibu Menteri Luar Negeri (Retno Marsudi) bersama saya diminta untuk menjelaskan kepada semua dubes negara asing yang ada di Jakarta," kata Eddy dalam acara Kementeriam Hukum dan HAM (Menkumham) Goest To Campus di Universitas Mataram, NTB, Kamis (13/7/2023).
Baca juga: Pasal Kohabitasi di RKUHP Dipertahankan, Wamenkumham Sebut Ada Win-win Solution
Satu per satu para dubes yang tak setuju dengan aturan itu kemudian dipanggil Menlu Retno untuk menerima penjelasan dari Kemenkumham.
"Dalam pidato kunci, saya sudah katakan bahwa Buku II KUHP itu adalah universalisme hukum pidana. Dimana-mana mengatur demikian, tetapi pada kesempatan ini saya hendak mengatakan bahwa universalisme berlaku di seluruh dunia, kecuali dalam tiga kejahatan," terangnya.
Pertama, di dalam KUHP Indonesia tidak ada bab atau pasal yang membahas mengenai kejahatan politik.
Kedua, di Indonesia diatur tentang pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, baik untuk individu, institusi hingga lembaga negara. Pasal ini bisa jadi tidak ada di negara lain.
Baca juga: Wamenkumham: KUHP Baru Menghadirkan Keadilan Korektif Bagi Pelaku
Ketiga, Indonesia memiliki pasal perzinaan dan kohabitasi yang ditentang negara barat, karena faktor sosial budaya.
"Isu ketiga yang satu negara dengan negara lain berbeda pengaturannya adalah yang paling banyak ditanyakan dengan hari ini, yaitu kejahatan kesusilaan," imbuh dia.
Eddy lantas mempertanyakan sikap negara-negara barat yang mempertentangkan kohabitasi di Indonesia, tetapi tidak memrotes larangan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) yang berlaku di konstitusi hukum pidana Rusia.
Pada akhirnya, di dalam pernyataan pamungkasnya, Eddy meminta kepada para dubes yang dipanggil untuk tidak hanya sekedar melihat KUHP dari kaca mata mereka semata.
"Jadi sekali lagi bapak ibu dan semua, kalau bicara soal kesusilaan, bicara soal penghinaan, bicara soal kejahatan politik, jangan dibanding-bandingkan. Tidak akan sama," ucap dia.
Baca juga: Tingkatkan Pemahaman tentang KUHP, Kemenkominfo dan Universitas Trisakti Gelar Forum Sosialisasi
Rumusan tentang pidana kohabitasi diatur dalam Pasal 414 yang terdiri dari 4 ayat. Dalam Ayat (1) disebutkan, "Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."
Akan tetapi, perbuatan itu tidak bisa serta merta dituntut secara hukum kecuali atas pengaduan dari 2 pihak, yaitu suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Rumusan itu tercantum dalam Ayat (2).
Sedangkan pada Ayat (3) disebutkan, "Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30."
Lantas pada Ayat (4) berbunyi, "Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.