JAKARTA, KOMPAS.com - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyoroti sejumlah poin krusial dalam Undang-undang (UU) Kesehatan yang menjadi bahan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Poin-poin krusial tersebut meliputi hilangnya anggaran wajib minimal (mandatory spending) di bidang kesehatan yang berpotensi menciptakan privatisasi, hingga hilangnya partisipasi publik yang bermakna.
Adapun judicial review akan ditempuh bersama empat organisasi profesi lainnya, yaitu Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Baca juga: UU Kesehatan Dinilai Cacat Prosedur, IDI Siapkan Upaya Judicial Review ke MK
"Maka kami dari Ikatan Dokter (Indonesia) bersama dengan empat organisasi profesi akan menyiapkan upaya hukum sebagai bagian tugas sebagai masyarakat yang taat hukum untuk mengajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia," kata Ketua Umum PB IDI, Adib Khumaidi dalam keterangan video, dikutip Kamis (13/7/2023).
Adib menyampaikan, poin krusial yang pertama adalah apakah UU tersebut sudah mencerminkan kepentingan kesehatan rakyat. Hal ini mengingat pembahasannya terbilang cepat sejak dimulai pada tahun lalu.
Bahkan, diskusi publik termasuk dalam penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) terjadi hanya pada Februari hingga April 2023. Selanjutnya, produk hukum itu melenggang leluasa hingga disahkan menjadi UU pada Selasa (11/7/2023).
"Kita melihat ketergesa-gesaan ini, keterburu-buruan ini menjadi sebuah cerminan bahwa regulasi ini dipercepat. Apakah kemudian ada konsekuensi karena kepentingan-kepentingan yang lain? Kami dari kelompok profesi tidak paham dengan hal seperti itu," ucap Adib.
Baca juga: Tolak UU Kesehatan, Partai Buruh Siapkan Aksi Besar-besaran di DPR
Poin kedua, sejauh mana UU Kesehatan mampu mencerminkan atau mewujudkan cita-cita dan upaya transformasi kesehatan yang digadang-gadang pemerintah.
Ia khawatir, transformasi kesehatan hanyalah sebuah janji manis yang dilembagakan dalam regulasi UU Kesehatan. Hal ini kata Adib, perlu membutuhkan pembuktian.
"Apakah memang konsep transformasi kesehatan keberpihakan terhadap kesehatan rakyat Indonesia, keberpihakan terkait dengan kemandirian kesehatan, termasuk juga keberpihakan terkait dengan SDM tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam negeri. Apakah itu sudah tercermin di dalam undang-undang ini?" tuturnya.
Poin selanjutnya, sejauh mana UU Kesehatan telah memenuhi asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ia ingin melihat sejauh mana UU Kesehatan mampu menciptakan kemudahan akses kesehatan bagi masyarakat dan menciptakan jaminan pembiayaan kesehatan.
Sebab, pasal terkait anggaran wajib minimal di bidang kesehatan sebesar 5 persen justru dihapus dalam UU yang baru.
"Itu berarti masyarakat rakyat secara kuantitas tidak mendapatkan kepastian hukum dalam pembiayaan kesehatan. Masyarakat akan dihadapkan dengan upaya membangun kesehatan melalui sumber pendanaan di luar APBN dan APBD," ungkap Adib.
Hilangnya mandatory spending, lanjut Adib, justru bukan tidak mungkin pendanaan kesehatan melalui pinjaman privatisasi, komersialisasi, maupun bisnis lainnya di bidang kesehatan.