BEBERAPA hari lalu, umat Islam merayakan Idul Adha dengan melakukan shalat Id dan membagikan daging kurban kepada kaum tidak berpunya.
Maka hari-hari itu banyak orang bergembira menikmati hidangan gulai dan sate sekeluarga, dengan porsi yang lebih besar daripada biasanya, bahkan mungkin jarang terjadi karena keterbatasan ekonomi.
Menjadi sesuatu yang ideal jika kegembiraan kaum duafa itu dapat berlangsung tidak hanya pada hari-hari Idul Adha, namun juga pada hari-hari berikutnya. Ini berarti kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi, baik sandang, pangan, maupun papan, dalam arti luas.
Setiap orang diharapkan berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar masing-masing. Namun jika tidak dapat memenuhinya karena satu dan lain hal, maka negara perlu turun tangan. Hal ini dijamin oleh konstitusi negara kita.
Pasal 34 UUD 1945 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (ayat 1) dan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (ayat 2).
Kemudian, negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (ayat 3).
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 26,36 juta orang (9,57 persen) pada September 2022.
Tingkat kemiskinan itu dihitung berdasarkan kebutuhan pokok makanan (setara 2.100 kilo kalori) dan non-makanan, per kapita per bulan.
Secara nominal angka garis kemiskinan nasional saat itu ditetapkan sebesar Rp 17.851 per orang per hari.
Angka ini cukup rendah sehingga tidak realistis untuk diterapkan di banyak daerah perkotaan. Dengan sedikit kenaikan harga barang-barang, banyak orang yang semula tergolong tidak miskin dapat mendadak termasuk kelompok miskin.
Bank Dunia menggunakan standar paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) untuk negara berpendapatan menengah, sebesar 3,2 dollar AS per orang per hari (sekitar Rp 47.500). Dengan garis kemiskinan yang lebih realistis ini jumlah penduduk miskin menjadi lebih besar daripada yang dihitung BPS.
Pemerintah saat ini sedang fokus menghapuskan kemiskinan ekstrem, yang berjumlah 5,59 juta orang (2,04 persen) pada Maret 2023.
Jumlah ini ditentukan berdasarkan penghasilan/pengeluaran sebesar 1,9 dollar AS per orang per hari (sekitar Rp 30.000). Target pemerintah untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem pada akhir 2024 kiranya tidak terlalu sulit untuk dicapai.
Namun kriteria miskin ekstrem itu menurut Bank Dunia juga masih terlalu rendah, sehingga perlu dinaikkan menjadi 2,15 dollar AS per kapita per hari, sesuai standar internasional.
Jika demikian, maka jumlah penduduk miskin ekstrem menjadi jauh lebih banyak dari yang sebelumnya diperkirakan. Dan itu menjadi kewajiban untuk menanganinya bagi pemerintahan periode 2024-2029 dan seterusnya.