JAKARTA, KOMPAS.com - Isu mengenai keberadaan gerakan bawah tanah Negara Islam Indonesia (NII) kembali mencuat seiring dengan kontroversi di balik Pondok Pesantren Al Zaytun dan pimpinannya, Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang.
Meski cerita mengenai orang-orang yang direkrut oleh kelompok itu terus muncul, tetapi selama ini persoalan itu terkesan mengambang dan tidak terdapat langkah tegas buat menyelesaikannya.
Di sisi lain, berbagai kontroversi juga menyelimuti Ponpes Al Zaytun yang kini kembali menjadi sorotan publik.
Selain itu, sumber dana buat membangun kompleks pondok pesantren yang cukup megah yang terletak di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat juga dipertanyakan.
Baca juga: Polri Klaim Sudah Ngebut Tangani Kasus Pimpinan Ponpes Al Zaytun Panji Gumilang
Dari segi ibadah, Ponpes itu menerapkan cara yang tidak biasa, misalnya saf shalat Idul Fitri 1444 Hijriah yang bercampur antara laki-laki dan perempuan.
Bahkan, ada satu orang perempuan sendiri berada di depan kerumunan laki-laki.
Karena kontroversi itu, pemerintah bakal menerapkan sanksi administrasi hingga sanksi pidana.
Selain menerapkan cara beribadah yang berbeda, Panji juga disebut-sebut terkait dengan gerakan Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9 (NII KW 9).
Meski sudah beberapa kali dilaporkan, keberadaan kelompok NII KW 9 disebut-sebut tidak mudah dibuktikan karena selalu bergerak di bawah tanah.
Baca juga: Ridwan Kamil Sebut Keputusan Pemerintah soal Al Zaytun Disampaikan Pekan Depan
Jika ditarik ke belakang, kaitan antara Al Zaytun dan gerakan NII sudah pernah disampaikan 12 tahun silam.
Menurut mantan aktivis NII pada 1996 sampai 2001, Sukanto, gerakan itu memang menargetkan kelompok tertentu buat direkrut menjadi anggotanya.
Lelaki alumnus Universitas Nasional itu memaparkan bagaimana pola perekrutan kelompok NII buat menjaring anggota baru.
Menurut Sukanto, urat nadi gerakan NII ada 2 bentuk, yaitu perekrutan dan pengumpulan dana.
Dalam perekrutan itu, calon anggota akan dirayu buat mengikuti ajakan diskusi atau kegiatan lain. Setelah berhasil, para perekrut kemudian akan melakukan indoktrinasi kepada calon anggota.
Baca juga: 4.985 Santri Belajar di Ponpes Al Zaytun, Menko PMK: Harus Dipastikan Pendidikan Tetap Berjalan
Doktrin yang selalu ditanamkan kepada calon anggota, kata Sukanto, adalah mereka harus hijrah dari posisi sebagai warga negara Indonesia menjadi warga NII.
Buat melengkapi proses hijrah maka calon anggota harus memberikan sedekah dengan tujuan menyucikan diri.
Menurut Sukanto terdapat berbagai macam alur perekrutan NII. Untuk kalangan mahasiswa, mereka akan didekati oleh perekrut yang juga bersikap selayaknya mahasiswa.
Cara perekrut menyampaikan ajakan kepada calon anggota adalah dengan menceritakan idealisme tentang kebesaran sejarah ilmu Islam.
Proses itu berjalan berkali-kali hingga pergaulan sang target diisolasi sehingga mudah diindoktrinasi.
Baca juga: Mahfud Bilang Ada Aspek Pidana di Ponpes Al Zaytun, Anggota DPR Desak Penegak Hukum Bergerak Cepat