Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK Sebut Caleg Pragmatis Muncul karena Parpol Terjebak Elektabilitas

Kompas.com - 15/06/2023, 13:53 WIB
Vitorio Mantalean,
Irfan Kamil,
Aryo Putranto Saptohutomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak sepakat dengan dalil yang menyatakan sistem proporsional terbuka menimbulkan para calon anggota DPR/DPRD yang pragmatis, tidak mewakili partai politik (parpol), dan merusak konsolidasi parpol.

Hal itu disampaikan Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan dalam dalam sidang putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem Pemilu, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Saldi mengatakan, partai politik memiliki kewenangan penuh dalam melakukan seleksi terhadap para kadernya yang dianggap layak untuk diajukan sebagai bakal calon anggota DPR/DPRD, yang sesuai dengan visi-misi dan cita-cita partai politik.

"Ihwal kelebihan dan kekurangan masing-masing varian dalam sistem proporsional, sebetulnya partai politik dapat mencegah dengan memastikan bakal calon yang akan diajukan memiliki rekam jejak (track record) yang mampu memahami ideologi, visi-misi, dan cita-cita partai politik," kata Saldi.

Baca juga: MK Tolak Gugatan UU Pemilu, Satu Hakim Dissenting Opinion Usulkan Sistem Proporsional Terbuka Terbatas

Saldi mengatakan, selama ini partai politik berpatokan kepada elektabilitas ketimbang mempertimbangkan pemahaman sang calon legislator.

"Bentangan empirik selama ini menunjukkan, banyak partai politik terjebak pada pertimbangan elektabilitas figur dalam menentukan calon untuk meraih suara pemilih dibandingkan dengan mempertimbangkan pemahaman calon terhadap ideologi, visi-misi, dan cita-cita partai politik yang bersangkutan," ucap Saldi.

"Artinya sikap pragmatisme sebagaimana yang didalilkan para pemohon tidak hanya merupakan pragmatisme calon tetapi juga dipicu oleh sikap pragmatisme sebagian partai politik," lanjut Saldi.

Maka dari itu menurut Saldi, jika hal itu tetap terjadi maka apapun sistem pemilu yang digunakan dan partai politik tidak berkomitmen memilih calon berdasarkan pemahaman politiknya maka pragmatisme calon anggota DPR/DPRD sulit dicegah.

Baca juga: MK: Proporsional Terbuka Lebih Dekat dengan UUD, tapi Sistem Pemilu Tetap Ranah Pembentuk UU

Saldi dalam pertimbangannya menyatakan, partai politik tetap mempunyai peran sentral dalam menentukan bakal calon anggota DPR/DPRD yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik.

"Dalam hal terdapat bakal calon anggota DPR/DPRD yang dinilai pragmatis sehingga tidak mampu menerjemahkan ideologi, visi-misi, dan cita-cita partai politik, yang dalam batas penalaran yang wajar dapat mengancam upaya mencapai kesamaan cita-cita dalam memperjuangkan dan membela kepentingan partai politik, anggota, masyarakat, bangsa dan negara, seyogyanya partai politik tidak mengajukan yang bersangkutan sebagai bakal calon anggota DPR/DPRD," kata Saldi.

"Bahkan jika telah terlanjur diajukan sebagai bakal calon, partai politik dapat meninjau atau mempertimbangkan kembali pencalonannya sebelum ditetapkan dalam daftar calon tetap," lanjut Saldi.

Saldi melanjutkan, partai politik seharusnya memiliki komitmen untuk mempertahankan kepentingan, ideologi, visi-misi, dan cita-citanya supaya tidak diperdaya oleh bakal calon anggota DPR/DPRD yang pragmatis.

Baca juga: MK Sebut Kekurangan Sistem Pemilihan Terbuka: Rawan Politik Uang

Penyebabnya, menurut Saldi, partai politik adalah satu-satunya lembaga yang menjadi pintu masuk bagi para calon legislator.

"Harusnya partai politik mampu untuk menentukan bakal calon anggota DPR/DPRD yang akan diajukan sebagai calon ke Komisi Pemilihan Umum," ujar Saldi.

"Dalam konteks ini, selama partai politik melakukan seleksi yang didasarkan kepada kepentingan, ideoligi, visi-misi, dan cita-citanya tidak terdapat alasan yang kuat untuk mengatakan calon anggota DPR/DPRD terjebak dalam pragmatisme dan tidak mewakili partai politik, bahkan merusak konsolidasi partai politik," ucap Saldi.

MK tidak mengabulkan gugatan untuk mengganti sistem pemilu legislatif sebagaimana dimohonkan dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022.

Baca juga: Sambut Putusan MK soal Sistem Pemilu, PDI-P: Kami Siap, Mau Tidak Mau...

Dengan putusan itu, pemilu legislatif yang diterapkan di Indonesia, sejauh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak diubah, tetap menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka seperti yang telah diberlakukan sejak 2004.

"Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman didampingi tujuh hakim konstitusi lain (minus Wahiduddin Adams), dalam sidang pembacaan putusan.

Mahkamah menyatakan, berdasarkan pertimbangan terhadap implikasi dan implementasi sistem pileg daftar calon terbuka, serta original intent dan penafsiran konstitusi, dalil-dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Presen Buruk Jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Presen Buruk Jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih Berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih Berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Nasional
Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Nasional
Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com