BUNG KARNO memimpin Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka, saat ia menjadi presiden RI (1945 – 1967), serta setelah wafat dan dimakamkan di Blitar, 21 Juni 1970.
Setelah wafatnya Bung Karno, Soeharto, presiden kedua, membuat pernyataan menarik dalam buku otobiografinya yang diterbitkan Penerbit PT Citra Lamtoro Gung Persada tahun 1989.
Dalam otobiografi berjudul “Soeharto. Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Seperti dipaparkan kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH”, Soeharto antara lain mengatakan, “Yang jelas kita harus memberikan penghargaan atas jasa-jasa beliau (Bung Karno) sebagai pejuang yang luar biasa.”
“Sejak dulu beliau (Bung Karno) adalah pejuang, perintis kemerdekaan. Dan sebagai Proklamator beliau (Bung Karno) tidak ada bandingannya,” demikian kata Soeharto, presiden selama 32 tahun (1967 – 1998). (halaman 246).
Baca juga: Bung Karno, Antara Bandit dan Dewa
Di bagian lain dalam buku dan artikel yang sama di bawah subjudul, “Bung Karno Wafat” , “Soeharto mengatakan sejak awal 1968 Bung Karno berada dalam ‘karantina politik’ dan tinggal di paviliun Istana Bogor."
“Kemudian beliau minta pindah dan kami setujui ke peristirahatan Hing Puri Bima Sakti yang terletak di Batutulis, Bogor... Tetapi lalu beliau menulis surat kepada saya yang dibawa oleh Rachmawati Soekarnoputri, agar diizinkan pindah ke Jakarta... Rupanya keadaan kesehatannya yang menyebabkan beliau ingin pindah ke Jakarta... Maka pindahlah Bung Karno pada permulaan 1969 ke Wisma Yaso Jalan Gatot Subroto (Jakarta)... Waktu saya mendengar beliau meninggal pada tanggal 21 Juni 1970, cepat saya menjenguknya ke rumah sakit. Setelah itu barulah saya berpikir mengenai pemakamannya,” demikian ujar Soeharto.
“Maka kemudian saya memutuskan dengan suatu pegangan yang saya jadikan titik tolak, yakni bahwa Bung Karno sewaktu hidupnya sangat mencintai ibunya... Maka saya tetapkan bahwa alangkah baiknya kalau Bung Karno dimakamkan di dekat makam ibunya di Blitar. Inilah alasan saya dan keputusan saya berkenaan dengan pemakaman Proklamator kita itu,“ lanjut Soeharto.
Soeharto juga mengatakan dalam otobiografinya itu (halaman 245), “Benar, semasa itu Bung Karno diminta keterangan untuk kepentingan Kokamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban)”.
“Tetapi setelah saya ketahui bahwa sakitnya (Bung Karno) cukup serius, saya perintahkan untuk berhenti dengan pemeriksaan itu,” kata Soeharto saat itu.
Filsuf bidang ilmu politik lulusan (Ph.D) Cornel University, Amerika Serikat, Daniel Dhakidae dalam tulisannya di Kompas Juni 2001 berjudul “Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno” juga menuliskan beberapa kata berbunyi seperti berikut di bawah ini.
Kata Daniel, semakin Soekarno diperiksa, semakin kita tidak mengerti siapa Soekarno itu, selain bahwa suratan tadir itu sudah dipenuhinya, yaitu memimpin Indonesia dalam waktu yang lama – bukan sekadar ketika (Bung Karno) menjadi presiden, akan tetapi jauh-jauh sebelum itu, sekurang-kurangnya sejak mengeluarkan manifesto Soekanro-isch tahun 1926 sampai dijatuhkan tahun 1966 di Jakarta.
“Setelah (Bung Karno) jatuh pun orde baru tidak mampu menghapus Soekarno dari kenangan publik dan pujaan massa yang tidak pernah mengenalnya... Sejak itu Soekarno dan Indonesia hampir tidak terpisahkan, baik bagi bangsanya, maupun bagi dunia...” Demikian Daniel Dhakidae yang wafat di Jakarta, Selasa 6 April 2021.
Tulisan Daniel ini mengingatkan saya pada ucapan Gus Dur dalam acara haul Bung Karno di kompleks makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur, Rabu malam, 20 Juni 2001.
Dalam pidatonya, Presiden (waktu itu) Abdurrahman Wahid mengatakan, Bung Karno bukan hanya milik keluarga dan kelompoknya, tetapi milik seluruh bangsa, bahkan dunia.
Haul Bung Karno saat itu bertepatan dengan satu abad Bung Karno. Acara ini dihadiri juga oleh Wakil Presiden (waktu itu) Megawati Soekarnoputri.