DISKURSUS islam dan politik bagi kalangan generasi 80-an ke bawah telah usang untuk dikilas balik. Pasalnya, perdebatan itu telah dianggap final menyusul kian merosotnya populisme Islam dalam langgam politik kini.
Kekuatan politik Islam menghadapi pelbagai serangan dan anomali yang berujung penggiringan pemahaman dari politik Islam ke arah politisasi Islam.
Tak jarang, politik Islam menghadapi resistensi dan kecurigaan akan bangkitnya sistem politik yang radikal, intoleran serta ekstremis.
Populisme Islam di Indonesia menghadapi keadaan dilematis. Satu sisi dimusuhi, di lain sisi atribut dan simbol yang menyertainya direkognisi ke dalam pribadi elite politik menjelang musim pemilu.
Tak jarang dijumpai baliho-baliho berukuran jumbo dilengkapi peci hitam atau kerudung -tiap bulan Ramadhan- sebagai personifikasi nuansa Islami. Jargon khas nan lazim tentu tak boleh terlupakan, "nasionalis-religius".
Tak heran Jusuf Kalla pernah berkelakar, politisi kita kalau menjelang pemilu, yang pertama didatangi adalah kiai di pondok-pondok pesantren. Tujuan utamanya satu, mengirim sinyal komunikasi politik kepada pemilih umat.
Secara ideal, sowan ke kiai merupakan adab politik ke-Indonesiaan. Karena betapun politisi tidak memahami nilai-nilai atau ajaran ke-Islaman secara kafah, meminta doa atau dukungan dari kiai menjadi ukuran kepantasan dalam perjuangan politik.
Terlepas dari niatan pragmatis, fenomena lazim di atas menggambarkan betapa spirit ke-Tuhanan menjadi tolok ukur kokohnya fondasi politik.
Kepentingan elektoral telah secara simultan berkelindan dengan spirit spritualitas. Keduanya tak bisa dipisahkan, baik buruknya tergantung hubungan tarik menarik antarkeduanya.
Pada banyak kasus, jika ambisi elektoralnya mendominasi atau memonopoli, maka spirit spritualitasnya akan mudah terkeropos hingga menjerumuskan pada kubangan politik hitam.
Sebaliknya, jika spirit spritualitasnya tinggi hingga menjadi pengendali atau tameng, maka menang-kalah hanyalah proses pendalaman spritual.
Politisi yang sampai pada level itu akan menjadikan kemenangan sebagai cobaan atau ujian, dan kekalahan sebagai kenikmatan dan keselamatan. Namun tentu saja harapan itu terlampau utopis dalam realitas politik kita dewasa ini.
Keadaban politik justru dilacuri oleh siasat politik ala gladiator, bak bertarung hidup dan mati di dalam langgam politik.
Langgam politik yang mulia telah bergeser menjadi medan perang kematian. Karena kekalahan tidak saja kehilangan status quo, namun juga kehilangan legacy dan akan mengalami aneksasi hingga pengasingan dari langgam politik.
Dengan alasan apapun, politisasi Islam atau upaya melakukan kapitalisasi terhadap agama tertentu tidak bisa dibenarkan.