Kekuatan politik Islam menghadapi pelbagai serangan dan anomali yang berujung penggiringan pemahaman dari politik Islam ke arah politisasi Islam.
Tak jarang, politik Islam menghadapi resistensi dan kecurigaan akan bangkitnya sistem politik yang radikal, intoleran serta ekstremis.
Populisme Islam di Indonesia menghadapi keadaan dilematis. Satu sisi dimusuhi, di lain sisi atribut dan simbol yang menyertainya direkognisi ke dalam pribadi elite politik menjelang musim pemilu.
Tak jarang dijumpai baliho-baliho berukuran jumbo dilengkapi peci hitam atau kerudung -tiap bulan Ramadhan- sebagai personifikasi nuansa Islami. Jargon khas nan lazim tentu tak boleh terlupakan, "nasionalis-religius".
Keadaban Politik
Tak heran Jusuf Kalla pernah berkelakar, politisi kita kalau menjelang pemilu, yang pertama didatangi adalah kiai di pondok-pondok pesantren. Tujuan utamanya satu, mengirim sinyal komunikasi politik kepada pemilih umat.
Secara ideal, sowan ke kiai merupakan adab politik ke-Indonesiaan. Karena betapun politisi tidak memahami nilai-nilai atau ajaran ke-Islaman secara kafah, meminta doa atau dukungan dari kiai menjadi ukuran kepantasan dalam perjuangan politik.
Terlepas dari niatan pragmatis, fenomena lazim di atas menggambarkan betapa spirit ke-Tuhanan menjadi tolok ukur kokohnya fondasi politik.
Kepentingan elektoral telah secara simultan berkelindan dengan spirit spritualitas. Keduanya tak bisa dipisahkan, baik buruknya tergantung hubungan tarik menarik antarkeduanya.
Pada banyak kasus, jika ambisi elektoralnya mendominasi atau memonopoli, maka spirit spritualitasnya akan mudah terkeropos hingga menjerumuskan pada kubangan politik hitam.
Sebaliknya, jika spirit spritualitasnya tinggi hingga menjadi pengendali atau tameng, maka menang-kalah hanyalah proses pendalaman spritual.
Politisi yang sampai pada level itu akan menjadikan kemenangan sebagai cobaan atau ujian, dan kekalahan sebagai kenikmatan dan keselamatan. Namun tentu saja harapan itu terlampau utopis dalam realitas politik kita dewasa ini.
Keadaban politik justru dilacuri oleh siasat politik ala gladiator, bak bertarung hidup dan mati di dalam langgam politik.
Langgam politik yang mulia telah bergeser menjadi medan perang kematian. Karena kekalahan tidak saja kehilangan status quo, namun juga kehilangan legacy dan akan mengalami aneksasi hingga pengasingan dari langgam politik.
Dengan alasan apapun, politisasi Islam atau upaya melakukan kapitalisasi terhadap agama tertentu tidak bisa dibenarkan.
Akan tetapi, sprit ke-Islaman (keagamaan) dalam politik harus menjadi pegangan utama sebagai keadaban politik.
Karena agama memberikan panduan luhur, maka sumber-sumber dan standar keadaban politik harus bersenyawa dengan nilai agama.
Pemaknaan politik identitas perlu diluruskan dan dijabarkan secara komprehensif. Karena tak selamanya politik identitas mengandung makna negatif.
Namun hegemoni tafsir dari negara tentu menjadi bahaya laten. Jika politik identitas selalu dimaknai negatif, maka keadaban politik menjadi omong kosong.
Begitu pula, perilaku para elite politik yang selalu sowan ke kiai akan selalu dipenuhi kecurigaan hingga yang paling berbahaya muncul paham kebencian terhadap agama.
Sekali lagi, hubungan elektoral dan spritual memang akan selalu berkelindan tergantung hasil dari tarik menarik antar keduanya.
Paranoid kekuasaan
Kecemasan memang akan lebih besar menghinggapi para pemegang kuasa. Karena merebut tak sesulit mempertahankan. Tidak heran, praktik pengerahan kekuatan dalam skala besar kerap dijumpai dari penguasa yang paranoid.
Kita ingat sejarah kelam perintah bunuh diri yang dilakukan kaisar Caligula terhadap saudara angkatnya yang sebagai pewaris tahta, Gemellus.
Caligula mengerahkan semua kekuatan untuk memantau setiap aktifitas rakyatnya karena ketakutan tahtanya direbut. Ratusan senator yang tak sejalan juga tak lekas dari pantauan.
Begitu juga pendahulunya, kaisar Tiberius yang meracuni saudaranya, Germanicus (calon pewaris tahta yang merupakan ayah Caligula).
Tidak saja membunuh Germanicus, Tiberius juga mengurung istri dan ketiga putri Germanius (kecuali Caligula yang berhasil lolos saat ditangkap) karena opininya yang membongkar kejanggalan kematian suaminya telah menyebar sangat cepat, dan berita ini merupakan ancaman bagi tahta kaisar.
Demikian pula kisah raja Firaun, yang paranoid kepada semua bayi laki-laki.
Beberapa pelajaran sejarah ini menggambarkan bahwa ujian kekuasaan begitu dahsyat, bahkan ada pula yang selalu ingin berkuasa terus kendati melawan konstitusi.
Maka, penting bagi setiap insan politik untuk mempunyai kekuatan spritual sebagai tameng ketika tergelincir dalam kubangan kekuasaan. Spirit spritual ini merupakan keadaban politik yang luhur dimiliki bangsa ini.
Tanpa keadaban politik, hasutan-kasat-kusut kepentingan bohir akan sukar dihindari. Karena pertarungan politik (pilpres), para bohir akan mempertaruhkan semuanya demi menjaga ritme dan status quo yang telah mapan.
Keberadaan bohir sebagai donatur pertarungan politik telah menjadi kelaziman dalam proses demokrasi dewasa ini.
Ongkos politik yang teramat mahal hanya memungkinkan para politisi dari kalangan pengusaha yang dapat bertarung. Jika tak beruntung, maka perlu menemukan bohir yang royal dan mau membiayai segala aktifitas politik.
Seperti anekdot Inggris, no free lunch. Konsekuensinya, politisi yang dibiayai para bohir harus tunduk dan patuh pada kepentingan dan titah bohir.
Kesepakatan semacam itu bahkan dibuat secara resmi -dengan istilah hitam di atas putih- seolah bisa dijustifikasi secara hukum.
Kendati rakyat yang memilih, namun segala bentuk keputusan dan kebijakan politik tak boleh merugikan kepentingan para bohir. Secara klasik, fenomena ini disebut sebagai the iron law of oligarhcy.
Maka penting bagi semua insan politik untuk mengedepankan keadaban politik untuk menghindari berbagai ekses buruk.
Agama harus diletakan sebagai spirit spritual yang menuntun arah gerak politik. Jika segala bentuk atribut dan ritual agama sekadar gimick, maka segala tindakan politik akan mudah tergelincir dalam dusta, dan kesempatan berkuasa dimanfaatkan untuk melayani bohir.
Begitu lah demokrasi bohir, dari bohir, oleh bohir, untuk bohir.
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/19/06150061/keadaban-politik-dan-paranoid-kekuasaan