Keberadaan bohir sebagai donatur pertarungan politik telah menjadi kelaziman dalam proses demokrasi dewasa ini.
Ongkos politik yang teramat mahal hanya memungkinkan para politisi dari kalangan pengusaha yang dapat bertarung. Jika tak beruntung, maka perlu menemukan bohir yang royal dan mau membiayai segala aktifitas politik.
Seperti anekdot Inggris, no free lunch. Konsekuensinya, politisi yang dibiayai para bohir harus tunduk dan patuh pada kepentingan dan titah bohir.
Kesepakatan semacam itu bahkan dibuat secara resmi -dengan istilah hitam di atas putih- seolah bisa dijustifikasi secara hukum.
Kendati rakyat yang memilih, namun segala bentuk keputusan dan kebijakan politik tak boleh merugikan kepentingan para bohir. Secara klasik, fenomena ini disebut sebagai the iron law of oligarhcy.
Maka penting bagi semua insan politik untuk mengedepankan keadaban politik untuk menghindari berbagai ekses buruk.
Agama harus diletakan sebagai spirit spritual yang menuntun arah gerak politik. Jika segala bentuk atribut dan ritual agama sekadar gimick, maka segala tindakan politik akan mudah tergelincir dalam dusta, dan kesempatan berkuasa dimanfaatkan untuk melayani bohir.
Begitu lah demokrasi bohir, dari bohir, oleh bohir, untuk bohir.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.