Akan tetapi, sprit ke-Islaman (keagamaan) dalam politik harus menjadi pegangan utama sebagai keadaban politik.
Karena agama memberikan panduan luhur, maka sumber-sumber dan standar keadaban politik harus bersenyawa dengan nilai agama.
Pemaknaan politik identitas perlu diluruskan dan dijabarkan secara komprehensif. Karena tak selamanya politik identitas mengandung makna negatif.
Namun hegemoni tafsir dari negara tentu menjadi bahaya laten. Jika politik identitas selalu dimaknai negatif, maka keadaban politik menjadi omong kosong.
Begitu pula, perilaku para elite politik yang selalu sowan ke kiai akan selalu dipenuhi kecurigaan hingga yang paling berbahaya muncul paham kebencian terhadap agama.
Sekali lagi, hubungan elektoral dan spritual memang akan selalu berkelindan tergantung hasil dari tarik menarik antar keduanya.
Kecemasan memang akan lebih besar menghinggapi para pemegang kuasa. Karena merebut tak sesulit mempertahankan. Tidak heran, praktik pengerahan kekuatan dalam skala besar kerap dijumpai dari penguasa yang paranoid.
Kita ingat sejarah kelam perintah bunuh diri yang dilakukan kaisar Caligula terhadap saudara angkatnya yang sebagai pewaris tahta, Gemellus.
Caligula mengerahkan semua kekuatan untuk memantau setiap aktifitas rakyatnya karena ketakutan tahtanya direbut. Ratusan senator yang tak sejalan juga tak lekas dari pantauan.
Begitu juga pendahulunya, kaisar Tiberius yang meracuni saudaranya, Germanicus (calon pewaris tahta yang merupakan ayah Caligula).
Tidak saja membunuh Germanicus, Tiberius juga mengurung istri dan ketiga putri Germanius (kecuali Caligula yang berhasil lolos saat ditangkap) karena opininya yang membongkar kejanggalan kematian suaminya telah menyebar sangat cepat, dan berita ini merupakan ancaman bagi tahta kaisar.
Demikian pula kisah raja Firaun, yang paranoid kepada semua bayi laki-laki.
Beberapa pelajaran sejarah ini menggambarkan bahwa ujian kekuasaan begitu dahsyat, bahkan ada pula yang selalu ingin berkuasa terus kendati melawan konstitusi.
Maka, penting bagi setiap insan politik untuk mempunyai kekuatan spritual sebagai tameng ketika tergelincir dalam kubangan kekuasaan. Spirit spritual ini merupakan keadaban politik yang luhur dimiliki bangsa ini.
Tanpa keadaban politik, hasutan-kasat-kusut kepentingan bohir akan sukar dihindari. Karena pertarungan politik (pilpres), para bohir akan mempertaruhkan semuanya demi menjaga ritme dan status quo yang telah mapan.