The founding fathers, Bung Karno pernah berkata,“Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian.”
Pernyataan Ayahanda Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputeri itu begitu dimaknai dalam-dalam oleh Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo, mantan Wali Kota Solo dua periode (2012-2021).
Menjadi burung elang terbang menyendiri, tanpa kawan, betapa sepinya perjalanan itu. Sementara bebek begitu pikuk mengikuti arahan sang induk berjalan massal menuju sawah yang penuh makanan.
Akibat dukungannya terhadap pernyataan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang menyatakan siap maju sebagai calon presiden, Rudy mendapat sanksi peringatan keras dan terakhir dari Ketua Kehormatan DPP PDIP Komarudin Watubun di Kantor DPP PDIP, Jakarta, kemarin (Kompas.com, 26/10/2022).
Langkah penjatuhan sanksi terhadap Wakil Wali Kota Solo di era Joko Widodo menjabat Wali Kota Solo itu merupakan langkah lanjutan dari Badan Kehormatan PDIP, setelah sebelumnya memberikan teguran lisan kepada Ganjar Pranowo serta para penggerak Dewan Kolonel yang mendapat hadiah “sanksi” keras dan terakhir.
Momentum penjatuhan sanksi secara berturut-turut terhadap kader-kader PDIP terkait polemik usulan pencapresan, baik untuk Ganjar Pranowo atau untuk Ketua DPR-RI Puan Maharani adalah langkah partai untuk menegakkan mekanisme disiplin dan tertib organisasi.
Marwah partai politik adalah terlaksananya aturan pendisiplinan dan penertiban kader agar jalannya organisasi bisa tertata dan teratur dengan baik.
Bagi PDIP, urusan “copras-capres” adalah ranah ketua umum yang pada waktunya nanti akan mengeluarkan rekomendasi partai.
Ketua umum diberi mandat partai berdasar hasil kongres partai dan itu harus ditaati oleh semua kader.
Saya jadi teringat dengan kejadian di Kongres PDIP di Bali, 2005, saat diminta Megawati Soekarnoputri untuk “menyusup” ke arena tandingan kader-kader PDIP yang membelot terhadap keputusan kongres.
Dari lokasi kongres di Hotel Grand Inna Kuta, Denpasar, saya harus “menyamar” agar bisa masuk di hotel lain di Kawasan Sanur.
Saya catat nama-nama “pembelot” seperti; Didi Supriyanto, Noviantika Nasution, Laksamana Sukardi, Roy BB Janis, Pius Lustrilanang, dan Meilono Suwondo.
Megawati yang mendapat bocoran nama-nama dari saya, akhirnya meminta pengurus partai untuk menjatuhkan langkah pemecatan.
Saya merasa galau mengingat nama-nama yang saya tulis di atas adalah sahabat-sahabat baik dan telah lama seiring perjalanan dalam melawan rezim otoriter Soeharto.
Tetapi di sisi lain, saya melaksanakan perintah Megawati karena lebih memercayai saya daripada orang lain.
Kader-kader yang dipecat tersebut mempunyai aspirasi “berseberangan” dengan tata tertib kongres, yakni mengajukan sosok lain selain Megawati sebagai calon ketua umum.
Nantinya kader-kader yang dipersona non gratakan dari PDIP membentuk pecahan PDIP yang bernama Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang sempat mengikuti Pemilu 2009.
Sanksi yang dijatuhkan kepada aktivis Dewan Kolonel, Ganjar Pranowo dan terakhir kepada FX Rudy setidaknya tidak boleh disebut sebagai pembungkaman terhadap suara-suara kritis di partai yang menganut pakem demokrasi.
Baca juga: Teguran untuk Ganjar Pranowo adalah Vitamin bagi Demokrasi