Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Peringatan Keras untuk Kader "Keras" Pembela Ganjar Pranowo

Kompas.com - 27/10/2022, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

The founding fathers, Bung Karno pernah berkata,“Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian.”

Pernyataan Ayahanda Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputeri itu begitu dimaknai dalam-dalam oleh Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo, mantan Wali Kota Solo dua periode (2012-2021).

Menjadi burung elang terbang menyendiri, tanpa kawan, betapa sepinya perjalanan itu. Sementara bebek begitu pikuk mengikuti arahan sang induk berjalan massal menuju sawah yang penuh makanan.

Ari Junaedi (kiri) dan FX Hadi Rudyatmo (kanan)Dokumentasi pribadi Ari Junaedi (kiri) dan FX Hadi Rudyatmo (kanan)
Bagi Rudy – demikian sapaan akrabnya Ketua DPC PDIP Solo itu, dirinya sudah terbiasa menjadi “elang” yang berani melawan arus di tengah fenomena ramainya bebek “mengekor” di partainya.

Akibat dukungannya terhadap pernyataan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang menyatakan siap maju sebagai calon presiden, Rudy mendapat sanksi peringatan keras dan terakhir dari Ketua Kehormatan DPP PDIP Komarudin Watubun di Kantor DPP PDIP, Jakarta, kemarin (Kompas.com, 26/10/2022).

Langkah penjatuhan sanksi terhadap Wakil Wali Kota Solo di era Joko Widodo menjabat Wali Kota Solo itu merupakan langkah lanjutan dari Badan Kehormatan PDIP, setelah sebelumnya memberikan teguran lisan kepada Ganjar Pranowo serta para penggerak Dewan Kolonel yang mendapat hadiah “sanksi” keras dan terakhir.

Momentum penjatuhan sanksi secara berturut-turut terhadap kader-kader PDIP terkait polemik usulan pencapresan, baik untuk Ganjar Pranowo atau untuk Ketua DPR-RI Puan Maharani adalah langkah partai untuk menegakkan mekanisme disiplin dan tertib organisasi.

Marwah partai politik adalah terlaksananya aturan pendisiplinan dan penertiban kader agar jalannya organisasi bisa tertata dan teratur dengan baik.

Bagi PDIP, urusan “copras-capres” adalah ranah ketua umum yang pada waktunya nanti akan mengeluarkan rekomendasi partai.

Ketua umum diberi mandat partai berdasar hasil kongres partai dan itu harus ditaati oleh semua kader.

Saya jadi teringat dengan kejadian di Kongres PDIP di Bali, 2005, saat diminta Megawati Soekarnoputri untuk “menyusup” ke arena tandingan kader-kader PDIP yang membelot terhadap keputusan kongres.

Dari lokasi kongres di Hotel Grand Inna Kuta, Denpasar, saya harus “menyamar” agar bisa masuk di hotel lain di Kawasan Sanur.

Saya catat nama-nama “pembelot” seperti; Didi Supriyanto, Noviantika Nasution, Laksamana Sukardi, Roy BB Janis, Pius Lustrilanang, dan Meilono Suwondo.

Megawati yang mendapat bocoran nama-nama dari saya, akhirnya meminta pengurus partai untuk menjatuhkan langkah pemecatan.

Saya merasa galau mengingat nama-nama yang saya tulis di atas adalah sahabat-sahabat baik dan telah lama seiring perjalanan dalam melawan rezim otoriter Soeharto.

Tetapi di sisi lain, saya melaksanakan perintah Megawati karena lebih memercayai saya daripada orang lain.

Kader-kader yang dipecat tersebut mempunyai aspirasi “berseberangan” dengan tata tertib kongres, yakni mengajukan sosok lain selain Megawati sebagai calon ketua umum.

Nantinya kader-kader yang dipersona non gratakan dari PDIP membentuk pecahan PDIP yang bernama Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang sempat mengikuti Pemilu 2009.

Sanksi bukan pembungkaman suara kritis

Sanksi yang dijatuhkan kepada aktivis Dewan Kolonel, Ganjar Pranowo dan terakhir kepada FX Rudy setidaknya tidak boleh disebut sebagai pembungkaman terhadap suara-suara kritis di partai yang menganut pakem demokrasi.

Baca juga: Teguran untuk Ganjar Pranowo adalah Vitamin bagi Demokrasi

Munculnya reaksi FX Rudy yang membela Ganjar Pranowo tidak terlepas dari hiruk pikuknya “adu banteng” di provinsi yang dikenal sebagai “kandang banteng” itu.

Sebagai salah satu ketua dewan pimpinan cabang, tempat di mana Puan Maharani memiliki daerah pemilihan, Rudi paham betul dengan proses dinamika internal.

Sudah menjadi rahasia umum, Ganjar Pranowo yang juga Gubernur Jawa Tengah kerap “diasingkan” dari seluruh kegiatan partai yang dihelat di seantero Jawa Tengah.

Menjadi janggal dan lucu, Ganjar yang begitu diidolakan dan dipuja oleh berbagai kalangan, entah di level nasional dan lokal, baik oleh kalangan sepuh atau generasi Z, tetapi justru “diparkir” oleh rekan-rekan partainya sendiri.

Meminjam bahasa Ketua DPP PDIP Jawa Tengah yang juga Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP PDIP, Bambang “Pacul” Wuryanto, Ganjar diistilahkan “terlalu kemajon”.

Oleh salah satu pendiri Dewan Kolonel yang juga anggota DPR bermarga Batak, Trimedya Panjaitan, malah dibilang “terlalu kemlithi”.

Saya begitu mengenal karakter Rudy yang dikenal “apa adanya” dan “lempeng” tidak sudi akan ketimpangan yang terjadi di partainya.

Rudy menjadi pembela Ganjar karena rentang pengalaman lamanya di partai, telah membentuk jiwa dan sikapnya untuk melawan arus besar yang “mengkuyo-kuyo” Ganjar Pranowo.

Suatu ketika, saya ke Solo hanya untuk mendengar “curhat”-nya Rudy yang begitu kecewa dengan perjalanan partai.

Rudi khawatir jalannya partai jika suatu saat PDIP ditinggal Megawati, sementara di tubuh partai meruyak fenomena menjadi bebek adalah menjadi hal biasa.

Saya tidak menyangka, di balik sosok machonya dan kumis yang melintang tebal, ternyata Rudy menangis sesunggukkan membayangkan PDIP tanpa Megawati nantinya.

Jika seluruh kader PDIP dites warna “merahnya”, saya begitu “haqqul yaqin” FX Hadi Rudyatmo yang memiliki kekentalan warna merah PDIP-nya. Jauh di atas warna merah personel DPP PDIP atau seluruh anggota Dewan Kolonel.

Sebelum didapuk menjadi wakil wali kota mendampingi Jokowi, Rudy begitu merakyat dan melegenda di kalangan warga Solo.

Setiap ada musibah seperti banjir, Rudy yang pertama turun membantu dan mempersilahkan rumahnya dijadikan posko. Kebiasaan itu tidak berubah, walau Rudy menyandang jabatan publik.

Sebagai ketua dewan pimpinan cabang tempat Puan Maharani memiliki daerah pemilihan beserta Kabupaten Boyolali, Klaten dan Sukoharjo, Solo telah memberikan kontribusi bagi kemenangan Puan di beberapa Pemilu legislatif.

Pada Pemilu 2019, Puan mendulang 404.034 suara, sementara Pemilu 2014 (369.927 suara) dan Pemilu 2009 (242.504 suara). Suara Puan saat pemilu selalu menjadi salah satu anggota DPR yang meraup suara terbanyak.

Dari wilayah “kekuasaan” Rudy, telah menjadi saksi munculnya sosok presiden dua periode, lahirnya salah satu wali kota termuda Gibran Rakabumi yang juga putra Presiden Jokowi serta basis suara Puan Maharani.

Ketika nama-nama yang diperjuangkan telah menjadi “orang”, Rudy mengakhiri “pertandingan” dengan menjadi tukang las.

Ya betul, Rudy tidak gila jabatan dan menuntut jabatan. Dia selalu “nerimo” dengan jalannya nasib dari Tuhan untuk mengabdi kepada warga yang terpinggirkan. Sehingga saya tidak heran dengan sikapnya yang teguh membela Ganjar.

Kebesaran hati Rudy yang menerima sanksi keras dari yunior-yuniornya di partai diterimanya dengan lapang dada.

Saya yakin, Rudy walau menganut agama Katolik, tetapi dia akan mengedepankan “sami'na wa atho'na”, yakni dia mendengar dan mentaati. Peringatan itu adalah nasihat sekaligus pengingat baginya.

Prospek pencapresan Ganjar pascasanksi

Hujan deras jatuhnya “sanksi” yang dikeluarkan PDIP untuk menertibkan kader-kadernya tidak terlepas dari momentum keluarnya rekomendasi dari Megawati Soekarnoputri tentang kader yang akan diusung menjadi calon presiden.

Jika merujuk hasil survei terbaru dari Litbang Kompas, harus diakui dari beberapa kader PDIP seperti Puan Maharani, Tri Rismaharini, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan Ganjar Pranowo, hanya Ganjar yang berpeluang besar berlaga di Pilpres 2024 yang dipastikan akan berlangsung ketat.

Puan mendapat elektabilitas 1 persen, jauh meningkat dari survei yang dirilis Kompas pada Juni 2022 (0,2 persen) dan survei periode Januari 2022 (0,6 persen).

Baca juga: Survei Litbang Kompas: Elektabilitas Puan 1 Persen, Ganjar 23,2 Persen

Menteri Sosial Tri Rismaharini di survei terbaru meraih elektabilitas 1,2 persen, sementara Ahok yang Komisaris Pertamina mendulang elektabilitas 0,7 persen.

Ganjar mendapat 23,2 persen dengan tendesi mengalami kenaikan angka elektabilitas di setiap periode survei. Jauh mengungguli raihan elektabilitas Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.

Berbeda dengan partai-partai lain yang “terburu-buru” dan “kemajon” dalam urusan pencapresan, PDIP dikenal “slowly” dan terkesan “alon-alon asal menang”.

Mantera ini memang menjadi ciri khas PDIP di era Megawati mengingat proses keluarnya rekomendasi tidak melulu merujuk dari hasil survei.

Di PDIP, begitu lekat adagium kerja untuk rakyat, turun ke bawah bersama rakyat dan sejatinya pemimpin itu harus “tertawa” dan “menangis” bersama rakyat.

Membaca pola pikir Megawati harusnya dipahami sebagai cara dari calon presiden untuk terus meningkatkan elektabilitas dan popularitas, tetapi harus berbasis kepada kerja nyata. Tidak semata dengan branding dan pencitraan kosong di media sosial.

Megawati tidak ingin kader yang dicapreskan memiliki rekam jejak di rakyat hanya sebagai pemimpin “bualan”.

Kader yang bekerja keras menyelami perasaan rakyat, memperjuangkan aspirasi rakyat dan terus memastikan mereka mendapat sentuhan program pembangunan kerakyatan – seperti pilihan Megawati kepada sosok Jokowi – harus memiliki kesabaran progesif untuk menunggu rekomendasi keluar.

Megawati tidak ingin salah pilih dan pilih yang salah. Biarkan Megawati mencari inspirasi di sepertiga malam dan berkontemplasi bersama spirit Bung Karno untuk memastikan kader terbaik PDIP menjadi pelanjut kepemimpinan Jokowi.

Semoga polemik pencapresan Ganjar atau Puan tidak menjadikan para kader PDIP seperti Komarudin Watubun, Hasto Kristiyanto, FX Hadi Rudyatmo, Trimedya Panjaitan, Johan Budi, Bambang Wuryanto, Utut Adianto, Said Abdullah dan anggota-anggota Dewan Kolonel untuk melupakan perkataan Soekarno.

"Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, berjuang karena rakyat, dan aku penyambung lidah rakyat".

Yang jelas menjadi elang apalagi banteng jauh lebih bermartabat jika berguna untuk rakyat daripada menjadi bebek untuk “tuannya” demi jabatan dan mengamankan posisi di pemilu nanti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com