Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Sebut Hukum Adat Tak Bisa Digunakan untuk Hindari Proses Pidana

Kompas.com - 13/10/2022, 10:05 WIB
Syakirun Ni'am,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menyebut penerapan hukum adat di Papua terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe yang diduga tengah terjerat kasus korupsi, tidak bisa digunakan untuk menghindari proses pidana yang bergulir.

Sebagaimana diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Lukas sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi. Belakangan, pengacaranya menyebut masyarakat adat meminta kasusnya diserahkan sepenuhnya ke hukum adat.

Baca juga: ICW Ingatkan Hukum Adat untuk Lukas Enembe di Papua Tak Berpengaruh dengan Proses di KPK

Hukum adat tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk menghindari proses pidana,” kata Fickar saat dihubungi Kompas.com, Rabu (12/10/2022).

Ia menjelaskan, hukum adat hanya berlaku bagi komunitas adat dengan hukuman maksimal berupa dikucilkan dan denda.

Sementara, kasus korupsi merupakan tindak pidana yang penegakan hukumnya tidak pandang bulu. Termasuk dalam hal ini adalah kepala adat yang menjadi pejabat negara.

Baca juga: Kritik Pengacara yang Minta Kasus Lukas Enembe Diserahkan ke Hukum Adat, ICW: Beli Buku Pidana, Baca!

Karena itu, meski pengacara Lukas menyatakan klien mereka telah ditetapkan sebagai Kepala Suku Besar dan perkaranya diserahkan kepada hukum adat, KPK tetap bisa mengusut dugaan suap dan gratifikasi tersebut.

“Bisa, (KPK dan hukum adat) beda ranah,” ujar Fickar.

Menurutnya, semestinya semua pejabat publik di daerah menyadari hukum adat tidak bisa digunakan untuk menghindari hukum positif atau hukum yang berlaku secara nasional.

Sebab, jabatan yang diemban merupakan hasil pemilihan umum kepala daerah.

Baca juga: Pengusutan Kasus Lukas Enembe Diminta Pakai Hukum Adat, ICW: Yang Diusut Gubernur, Bukan Kepala Suku

“Sekalipun de facto yang bersangkutan merangkap sebagai kepala adat. Hukum adat hanya efektif terhadap jabatan-jabatan adat,” tuturnya.

Sebelumnya, pengacara Lukas, Aloysius Renwarin menyebut kliennya telah diangkat oleh dewan adat dari tujuh suku menjadi Kepala Suku Besar.

Ia juga mengklaim masyarakat adat sepakat kasus Lukas diserahkan kepada hukum adat. Selain itu, mereka meminta pemeriksaan KPK terhadap Lukas dilakukan di tanah lapang di Jayapura, bukan di Jakarta.

Baca juga: Masyarakat Adat Sepakat Perkara Lukas Diserahkan ke Hukum Adat Papua

“Berarti semua urusan akan dialihkan kepada adat yang mengambil sesuai hukum adat yang berlaku di tanah Papua,” kata Aloysius saat ditemui awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (10/10/2022).

Lukas ditetapkan sebagai tersangka pada 5 September. Ia diduga menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 1 miliar terkait proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua.

KPK telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Lukas sebanyak dua kali, yakni 12 dan 26 September. Namun, ia tidak hadir dengan alasan sakit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Nasional
Waspada MERS-CoV, Jemaah Haji Indonesia Diminta Melapor Jika Alami Demam Tinggi

Waspada MERS-CoV, Jemaah Haji Indonesia Diminta Melapor Jika Alami Demam Tinggi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com