Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rosdiansyah
Periset dan Dosen

Periset dan staf pengajar yang suka jalan-jalan meresapi suasana baru. Dosen Luar Biasa FISIP Ilmu Komunikasi UPN Surabaya, peneliti pada Center for Radicalism, Extremism and Security Studies (CRESS), Surabaya.

Prokes, Moderasi Beragama, dan Heterotopia

Kompas.com - 08/06/2021, 12:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AWALNYA insiden lalu jadi preseden. Kira-kira seperti itu perjalanan peristiwa larangan penggunaan masker di Masjid Al Amanah Kota Bekasi, beberapa waktu lalu.

Dalam video yang sempat beredar, terlihat oknum pengurus masjid setempat dan seorang pemuda masjid membentak pengunjung masjid yang hendak shalat tanpa melepas masker.

Baca juga: Pengurus Masjid di Bekasi yang Usir Warga karena Pakai Masker Sudah Pernah Ditegur Polisi 2 Kali

Debat sengit dalam video jadi tontonan. Memantik pro-kontra di masyarakat. Ada yang membela oknum pengurus masjid, tapi banyak pula yang membela pengunjung bermasker.

Sampai beberapa hari usai video beredar, tak terdengar ada kerusuhan akibat video tersebut. Yang terjadi, pro-kontra berhenti pada beda pendapat di masyarakat. Itu lumrah.

Baca juga: Pengurus Masjid di Bekasi yang Larang Jemaah Pakai Masker Minta Maaf, Janji Patuhi Protokol Kesehatan

Namun, kasus video ini rupanya telah menarik perhatian Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dan kantor Wakil Presiden. Respons kedua kantor ini mengaitkan insiden tersebut pada wacana moderasi beragama di masyarakat.

Wah, perkara mendadak jadi super serius. Topik bergeser, dari protokol kesehatan (prokes) ke moderasi beragama. Tentu, ini bukan bukan sembarang topik dan tak boleh diselesaikan sembarangan.

Baca juga: Konflik Jemaah Dilarang Bermasker di Masjid Bekasi, Pemuda Arogan Jadi Duta Masker

Jika merujuk pada buku Moderasi Beragama yang diterbitkan Kementerian Agama (Kemenag) pada 2019, istilah moderasi beragama merujuk pada cara pandang, sikap, dan perilaku yang tidak ekstrem dalam beragama.

Artinya, ada keseimbangan antara pengamalan agama sendiri serta penghormatan pada praktik beragama orang lain. Disebut pula, moderasi beragama menjadi kunci dalam toleransi serta kerukunan antar-umat beragama, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.

Namun, kunci itu akan berhasil manakala tiga syarat bisa terlaksana di masyarakat. Ketiga syarat itu adalah berpengetahuan luas, mampu menahan emosi, dan bersikap hati-hati dalam berbagai situasi.

Baca juga di Kompas.id: Moderasi Beragama

Sehingga bisa dikatakan, mempraktikkan moderasi beragama dalam masyarakat majemuk jelas tidak mudah. Utamanya untuk masyarakat yang terpapar aneka informasi dari beragam sumber.

Terlebih lagi, akses ke sumber-sumber informasi tersebut saat ini sudah sangat mudah.

Moderasi beragama vs deradikalisasi

Istilah moderasi beragama sebenarnya memang lebih tepat digunakan ketimbang istilah deradikalisasi.

Selama ini, baik istilah deradikalisasi maupun radikalisasi telah sering dipersoalkan berbagai pihak.

Setidaknya ada tiga alasan kenapa istilah deradikalisasi mulai ditinggalkan.

Alasan pertama, istilah deradikalisasi merupakan kebalikan dari radikalisasi. Namun, dalam tradisi filsafat, baik radikalisasi maupun deradikalisasi berkaitan pada cara berpikir mendalam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com