Salin Artikel

Prokes, Moderasi Beragama, dan Heterotopia

AWALNYA insiden lalu jadi preseden. Kira-kira seperti itu perjalanan peristiwa larangan penggunaan masker di Masjid Al Amanah Kota Bekasi, beberapa waktu lalu.

Dalam video yang sempat beredar, terlihat oknum pengurus masjid setempat dan seorang pemuda masjid membentak pengunjung masjid yang hendak shalat tanpa melepas masker.

Debat sengit dalam video jadi tontonan. Memantik pro-kontra di masyarakat. Ada yang membela oknum pengurus masjid, tapi banyak pula yang membela pengunjung bermasker.

Sampai beberapa hari usai video beredar, tak terdengar ada kerusuhan akibat video tersebut. Yang terjadi, pro-kontra berhenti pada beda pendapat di masyarakat. Itu lumrah.

Namun, kasus video ini rupanya telah menarik perhatian Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dan kantor Wakil Presiden. Respons kedua kantor ini mengaitkan insiden tersebut pada wacana moderasi beragama di masyarakat.

Wah, perkara mendadak jadi super serius. Topik bergeser, dari protokol kesehatan (prokes) ke moderasi beragama. Tentu, ini bukan bukan sembarang topik dan tak boleh diselesaikan sembarangan.

Jika merujuk pada buku Moderasi Beragama yang diterbitkan Kementerian Agama (Kemenag) pada 2019, istilah moderasi beragama merujuk pada cara pandang, sikap, dan perilaku yang tidak ekstrem dalam beragama.

Artinya, ada keseimbangan antara pengamalan agama sendiri serta penghormatan pada praktik beragama orang lain. Disebut pula, moderasi beragama menjadi kunci dalam toleransi serta kerukunan antar-umat beragama, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.

Namun, kunci itu akan berhasil manakala tiga syarat bisa terlaksana di masyarakat. Ketiga syarat itu adalah berpengetahuan luas, mampu menahan emosi, dan bersikap hati-hati dalam berbagai situasi.

Sehingga bisa dikatakan, mempraktikkan moderasi beragama dalam masyarakat majemuk jelas tidak mudah. Utamanya untuk masyarakat yang terpapar aneka informasi dari beragam sumber.

Terlebih lagi, akses ke sumber-sumber informasi tersebut saat ini sudah sangat mudah.

Moderasi beragama vs deradikalisasi

Istilah moderasi beragama sebenarnya memang lebih tepat digunakan ketimbang istilah deradikalisasi.

Selama ini, baik istilah deradikalisasi maupun radikalisasi telah sering dipersoalkan berbagai pihak.

Setidaknya ada tiga alasan kenapa istilah deradikalisasi mulai ditinggalkan.

Alasan pertama, istilah deradikalisasi merupakan kebalikan dari radikalisasi. Namun, dalam tradisi filsafat, baik radikalisasi maupun deradikalisasi berkaitan pada cara berpikir mendalam.

Bedanya, radikalisasi merupakan proses berpikir sampai ke akar (radix), sedangkan deradikalisasi mencerabut akar pemikiran.

Belakangan, pemaknaan radikalisasi maupun deradikalisasi telah mengalami pergeseran karena dikaitkan pada aksi terorisme.

Diduga kuat, para pelaku terorisme terlebih dulu mengalami radikalisasi pemahaman keagamaan sebelum melancarkan aksi terorisme. Untuk melawan ini, aparat penegak hukum dan sejumlah LSM lantas menggunakan program deradikalisasi.

Alasan kedua, istilah deradikalisasi selama ini dipahami banyak pihak sebagai upaya hendak mencerabut agama atau keyakinan dari sanubari masyarakat. Pemahaman semacam ini sempat meluas sejak program deradikalisasi gencar disebar ke berbagai daerah.

Alasan ketiga, baik radikalisasi maupun deradikalisasi sesungguhnya berada pada dua kutub ekstrem dalam satu garis yang sama. Deradikalisasi merupakan antitesa radikalisasi. Keduanya saling menegasikan tak berkesudahan.

Oleh karenanya, pilihan istilah "moderasi beragama" dipandang lebih pas untuk menjadi acuan aksi mengikis cara pikir serta perilaku berlebihan ekspresi beragama. Selama nyaris dua tahun sejak istilah itu dikumandangkan Kemenag pada 2019, telah banyak kegiatan digelar.

Moderasi beragama dan heterotopia

Jauh sebelum wacana moderasi beragama digagas Kemenag, sebenarnya pemahaman ajaran yang bersifat moderat sudah dipegang sebagian besar masyarakat kita yang majemuk.

Bukti soal ini bisa dilihat dari keseharian antar-umat beragama dalam berinteraksi, berkomunikasi, dan bersosialisasi.

Memang sesekali terjadi ketegangan bahkan friksi, tetapi semua itu lebih dikarenakan kesalahpahaman biasa. Setelah melalui pendekatan yang baik, kesalahpahaman tersebut segera surut lalu keseharian normal kembali.

Warga masyarakat telah punya kearifan sendiri untuk mengikis ketegangan, dan pada saat yang sama masyarakat juga mampu menebar kembali tenggang rasa.

Bagi masyarakat dengan pola hubungan semacam itu, barangkali kearifan lokal yang sudah berjalan di dalamnya merupakan cara terbaik meredam gejolak dan prasangka. Tidak lagi diperlukan pembenaman wacana moderasi beragama.

Kalaupun kemudian ada upaya semacam itu, maka sifatnya hanya komplementer saja.

Masyarakat majemuk yang telah melembagakan kearifan lokal sebagai rujukan pola hubungan sosial lazimnya cepat tanggap tatkala muncul ketegangan mengarah ke konflik.

Bagi mereka ini, ketegangan sering bermakna sebagai peluang untuk lebih mengenal perbedaan antar-anggota masyarakat. Memang, emosi bisa dominan dalam situasi ini. Namun, nalar masyarakat kerap mampu menelisik kenapa gesekan terjadi.

Situasi normal dan situasi rawan konflik barangkali bisa dijelaskan lewat wacana heterotopia Foucault. Menurut Foucault, heterotopia merupakan situasi berkebalikan dari yang biasa dilihat atau diketahui masyarakat.

Untuk memudahkan pemahaman, Foucault mencontohkan lokasi-lokasi tertentu seperti gedung bioskop, kompleks kuburan, toilet, asrama sekolah, penjara, atau sauna.

Semua lokasi itu spesifik namun merefleksikan ketertutupan. Lokasi-lokasi itu menjadi medium pemurnian di tengah kebebasan masyarakat.

Beda heterotopia dari utopia adalah pada realitas material. Utopia hanya bayangan tanpa materi, sebaliknya heterotopia memiliki realitas materi tersebut.

Dalam situasi normal, masyarakat berada dalam ruang atau tempat nyata berinteraksi sehari-hari.

Namun, saat berbagai penerjemahan kaku atas doktrin-doktrin keagamaan mulai beredar, mendadak muncul komunitas eksklusif mengarah ke situasi rawan konflik. Mereka mencipta ruang krisis.

Ketertutupan demi purifikasi (pemurnian) menjadikan komunitas eksklusif tak ubahnya mereka yang berada dalam penjara, asrama, atau sauna. Pendisiplinan super ketat membuat komunitas ini menolak segala bentuk moderasi atau keluwesan.

Dalam situasi ini seharusnya yang menjadi aksi utama bukanlah meminggirkan komunitas tertutup. Sebaliknya, yang perlu dilakukan haruslah merangkul komunitas tersebut sembari intensif menggelontor pengetahuan lebih luas atas doktrin-doktrin agama.

Selama ini, ada kecenderungan pembenaman moderasi beragama terjebak ke dalam eksklusivitas.

Hanya elite tertentu, kelompok terbatas, atau segelintir ormas yang dirangkul lantaran sudah dianggap moderat. Adapun kelompok lain yang terlanjur dicurigai sebagai kelompok eksklusif, malah dijauhi.

https://nasional.kompas.com/read/2021/06/08/12553461/prokes-moderasi-beragama-dan-heterotopia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke