JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes mendorong agar UU Partai Politik mengatur ketat standar rekrutmen calon kepala daerah.
Menurut Arya, pengaturan rekrutmen politik yang ketat, misalnya dengan menetapkan waktu minimal keanggotaan partai, dapat mengurangi praktik pencalonan kepala daerah yang sebetulnya minim pengalaman.
"Jadi, orang sebelum pilkada, ada waktu misal satu sampai dua tahun untuk mengikuti proses di internal partai sehingga tidak ujug-ujug (maju)," kata dia dalam diskusi daring "Evaluasi 15 Tahun Tata kelola Pelaksanaan Pilkada Langsung", Kamis (15/10/2020).
Selain itu, dia mengatakan, perlu ada upaya untuk mendorong multipartai sederhana di tingkat lokal.
Arya mengatakan, hal ini untuk mempermudah terbentuknya koalisi dan memperbanyak pilihan calon kepala daerah alternatif.
"Kita harus mendorong multipartai sederhana di tingkat lokal, caranya dengan memperkecil alokasi daerah pemilihan, misal 3-8 kursi per daerah pemilihan dan memberlakukan PT," ujar Arya.
Bertalian dengan itu, Arya berharap agar syarat pencalonan partai atau perseorangan diturunkan.
Batas maksimal koalisi juga perlu diatur untuk mengurangi calon tunggal di suatu daerah.
Kemudian, diperlukan upaya desentralisasi pencalonan.
Menurut dia, selama ini pengurus pusat partai masih menjadi penentu kebijakan tertinggi.
"Kalau kita lihat, kita mengalami otonomi daerah, tapi partai sejak lama tidak mengalami desentralisasi. Semua kebijakan pencalonan hampir semuanya diputuskan pusat," ucap dia.
Persoalan lain yang jadi masalah dalam pilkada langsung adalah pembiayaan yang mahal.
Arya mengatakan, salah satu upaya untuk mengurangi biaya politik pilkada, yaitu dengan memperkuat peran Bawaslu dalam pengawasan penghitungan suara.
Upaya tersebut diharapkan dapat mengurangi beban biaya politik peserta pilkada untuk ongkos saksi.
"Meningkatkan kepercayaan peserta pemilu terhadap sistem penghitungan suara. Dengan demikian ongkos yang dikeluarkan paslon untuk biaya saksi jadi terpotong, karena sistemnya transparan," kata Arya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.