JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (RUU Minerba) menjadi Undang-Undang.
Pengesahan tersebut dilakukan dalam rapat paripurna DPR, Selasa (12/5/2020).
Tindakan DPR itu disayangkan berbagai pihak, termasuk dari kalangan masyarakat sipil. Sebab, pengesahan RUU tersebut dinilai tergesa-gesa dan tidak berdasarkan aspirasi rakyat.
Baca juga: Tanda Tanya di Balik Ngototnya DPR Sahkan UU Minerba...
Apalagi, pembahasan dan pengesahan RUU itu dilakukan di tengah kondisi Indonesia melawan virus corona (Covid-19).
RUU Minerba juga menuai kontroversi di masyarakat karena dianggap hanya pro pada pengusaha tambang.
Bahkan, dalam aksi mahasiswa besar-besaran tahun 2019, RUU ini menjadi salah satu yang ditolak untuk disahkan.
Hingga akhirnya, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pembahasan RUU Minerba.
Namun, pada Februari 2020 RUU tersebut kembali dibahas dan kemudian disahkan pada 12 Mei 2020.
Artianya, pembahasan RUU Minerba hanya dilakukan dalam kurun waktu tiga bulan.
Kekuatan besar
Melihat hal itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha menyayangkan pembahasan dan pengesahan RUU Minerba oleh DPR dan pemerintah terkesan buru-buru dan tidak transparan.
Ia pun menduga ada pihak yang sengaja mendesak DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU tersebut.
"Kami menduga ada kekuatan besar di balik ini semua yang bisa menggerakan DPR maupun pemerintah untuk segera mengesahkan Revisi Undang-Undang Minerba," kata Egi dalam diskusi online bertajuk "Menyikapi Pengesahan RUU Minerba", Rabu (13/5/2020).
"Dan dugaan kami, mereka adalah elite-elite kaya yang memiliki kepentingan dengan bisnis batu bara," kata dia.
Baca juga: UU Minerba Dinilai Akan Memperburuk Kelestarian Lingkungan Hidup
Menurut Egi, industri perusahaan batu bara di Indonesia dikuasai oleh elite kaya raya dan memiliki jabatan di pemerintahan.