JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris meminta Presiden Joko Widodo untuk tak khawatir dengan narasi pemakzulan, apabila menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
"Presiden tidak perlu khawatir dengan ancaman banyak pihak, ada yang menghubungkan penerbitan perppu KPK itu dengan impeachment, dengan apa namanya pemecatan atas presiden," kata Syamsuddin dalam diskusi rilis survei Perppu UU KPK dan Gerakan Mahasiswa di Mata Publik di Erian Hotel, Jakarta, Minggu (6/10/2019).
Syamsuddin menegaskan, bahwa narasi itu tidak tepat. Ia menganggap, pihak-pihak yang menyebarkan isu tersebut tak memahami konstitusi.
Baca juga: Didesak soal Perppu KPK, Jokowi Terus Diingatkan soal Janji Pemberantasan Korupsi
"Konstitusi kita itu sangat jelas prosedur pemberhentian presiden mesti ada pelanggaran hukum mencakup penghianatan terhadap konstitusi, negara, melakukan tindakan tercela, melakukan tindak kriminal itu kategorinya. Jadi konyol penerbitan perpou dihubungankan dengan impeachment," kata dia.
Pertama, perppu yang membatalkan UU KPK hasil revisi. Kedua, perppu yang menangguhkan implementasi UU KPK hasil revisi dalam jangka waktu tertentu, agar UU KPK hasil revisi bisa diperbaiki.
"Dan ketiga yang isinya menolak atau membatalkan sebagian pasal bermasalah yang disepakati antara DPR dan pemerintah. Poin saya, apabila presiden misalnya takut dengan pilihan pertama, beliau bisa pilih yang lain," katanya.
Baca juga: Survei LSI: 76,3 Persen Responden Setuju Presiden Terbitkan Perppu KPK
Dalam kesempatan itu, Syamsuddin juga menilai ada yang waktu yang tepat bagi Presiden untuk menerbitkan perppu KPK
Menurut Syamsuddin, titik tolaknya adalah 17 Oktober 2019.
"Sebab itu satu bulan sesudah 17 September, di mana disepakati DPR dan Pemerintah UU KPK hasil revisi. Pilihan yamg baik bagi Pak Jokowi adalah menunggu tanggal 17 Oktober, perppu bisa dilakukan setelahnya. Nah setelahnya itu kapan? Bisa sebelum dan sesudah pelantikan presiden," ujarnya.
Meski demikian, Syamsuddin menilai momen yang pas adalah setelah pelantikan presiden dan wakil presiden. Sebab, jika perppu KPK diterbitkan sebelum pelantikan, bisa menimbulkan potensi gejolak yang berisiko mengganggu pelantikan.
"Memang yang paling aman sesudah pelantikan presiden, tapi sebelum pembentukan kabinet. Itu waktu yang paling pas, setelah 17 Oktober dan setelah pelantikan presiden dan sebelum pelantikan kabinet," katanya.
Baca juga: Koalisi Antikorupsi Sesalkan Narasi Perppu KPK Bisa Makzulkan Jokowi
Syamsuddin memandang, Presiden Jokowi bisa memanfaatkan momen pembentukan kabinet sebagai alat tawar dengan partai politik agar mereka mendukung penerbitan perppu KPK.
"Presiden punya bergaining position yang kuat menghadapi partai politik sehingga kita sebagai publik mesti bersabar. Tapi ya saya ingin optimis bahwa presiden nanti bisa menerbitkan perppu setelah pelantikan dan sebelum penyusunan kabinet," ungkap Syamsuddin.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengatakan, Presiden Joko Widodo dan partai-partai pendukungnya sepakat untuk belum akan menerbitkan perppu KPK.