Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Diminta Tak Khawatir soal Narasi Pemakzulan jika Terbitkan Perppu KPK

Kompas.com - 06/10/2019, 16:57 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris meminta Presiden Joko Widodo untuk tak khawatir dengan narasi pemakzulan, apabila menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.

"Presiden tidak perlu khawatir dengan ancaman banyak pihak, ada yang menghubungkan penerbitan perppu KPK itu dengan impeachment, dengan apa namanya pemecatan atas presiden," kata Syamsuddin dalam diskusi rilis survei Perppu UU KPK dan Gerakan Mahasiswa di Mata Publik di Erian Hotel, Jakarta, Minggu (6/10/2019).

Syamsuddin menegaskan, bahwa narasi itu tidak tepat. Ia menganggap, pihak-pihak yang menyebarkan isu tersebut tak memahami konstitusi.

Baca juga: Didesak soal Perppu KPK, Jokowi Terus Diingatkan soal Janji Pemberantasan Korupsi

"Konstitusi kita itu sangat jelas prosedur pemberhentian presiden mesti ada pelanggaran hukum mencakup penghianatan terhadap konstitusi, negara, melakukan tindakan tercela, melakukan tindak kriminal itu kategorinya. Jadi konyol penerbitan perpou dihubungankan dengan impeachment," kata dia.

Pengamat Politik LIPI Syamsuddin Haris usai konferensi pers Civitas LIPI Tolak Revisi UU KPK di Kantor LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2019).KOMPAS.com/Deti Mega Purnamasari Pengamat Politik LIPI Syamsuddin Haris usai konferensi pers Civitas LIPI Tolak Revisi UU KPK di Kantor LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2019).
Ia juga menuturkan, penerbitan perppu merupakan kewenangan presiden jika merasa ada kegentingan yang memaksa. Syamsuddin menyebutkan, ada tiga opsi jika Presiden Jokowi ingin menerbitkan perppu KPK.

Pertama, perppu yang membatalkan UU KPK hasil revisi. Kedua, perppu yang menangguhkan implementasi UU KPK hasil revisi dalam jangka waktu tertentu, agar UU KPK hasil revisi bisa diperbaiki.

"Dan ketiga yang isinya menolak atau membatalkan sebagian pasal bermasalah yang disepakati antara DPR dan pemerintah. Poin saya, apabila presiden misalnya takut dengan pilihan pertama, beliau bisa pilih yang lain," katanya.

Baca juga: Survei LSI: 76,3 Persen Responden Setuju Presiden Terbitkan Perppu KPK

Dalam kesempatan itu, Syamsuddin juga menilai ada yang waktu yang tepat bagi Presiden untuk menerbitkan perppu KPK

Menurut Syamsuddin, titik tolaknya adalah 17 Oktober 2019.

"Sebab itu satu bulan sesudah 17 September, di mana disepakati DPR dan Pemerintah UU KPK hasil revisi. Pilihan yamg baik bagi Pak Jokowi adalah menunggu tanggal 17 Oktober, perppu bisa dilakukan setelahnya. Nah setelahnya itu kapan? Bisa sebelum dan sesudah pelantikan presiden," ujarnya.

Meski demikian, Syamsuddin menilai momen yang pas adalah setelah pelantikan presiden dan wakil presiden. Sebab, jika perppu KPK diterbitkan sebelum pelantikan, bisa menimbulkan potensi gejolak yang berisiko mengganggu pelantikan.

"Memang yang paling aman sesudah pelantikan presiden, tapi sebelum pembentukan kabinet. Itu waktu yang paling pas, setelah 17 Oktober dan setelah pelantikan presiden dan sebelum pelantikan kabinet," katanya.

Baca juga: Koalisi Antikorupsi Sesalkan Narasi Perppu KPK Bisa Makzulkan Jokowi

Syamsuddin memandang, Presiden Jokowi bisa memanfaatkan momen pembentukan kabinet sebagai alat tawar dengan partai politik agar mereka mendukung penerbitan perppu KPK.

"Presiden punya bergaining position yang kuat menghadapi partai politik sehingga kita sebagai publik mesti bersabar. Tapi ya saya ingin optimis bahwa presiden nanti bisa menerbitkan perppu setelah pelantikan dan sebelum penyusunan kabinet," ungkap Syamsuddin.

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengatakan, Presiden Joko Widodo dan partai-partai pendukungnya sepakat untuk belum akan menerbitkan perppu KPK.

Alasannya, UU KPK tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk itu, Surya meminta semua pihak menunggu hasil uji materi dari MK.

"Jadi kita tunggu dulu bagaimana proses di MK melanjutkan gugatan itu. Jadi yang jelas presiden bersama seluruh partai-partai pengusungnya mempunyai satu bahasa yang sama. Untuk sementara enggak ada. Belum terpikirkan mengeluarkan perppu," kata Surya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/10/2019).

Surya mengatakan, presiden dan partai pendukung memahami tuntutan masyarakat dan mahasiswa untuk menerbitkan Perppu KPK.

Baca juga: Soal Perppu KPK, Surya Paloh: Salah-salah Presiden Bisa Di-impeach

Namun, menurut dia, sebagian dari mereka yang menuntut tak tahu bahwa UU KPK sudah diproses di MK.

"Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana (MK), presiden kita paksa keluarkan perppu, ini justru dipolitisasi. Salah-salah presiden bisa di-impeach (dimakzulkan) karena itu," ujarnya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Nasional
Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

Nasional
Tanggapi Ide 'Presidential Club' Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Tanggapi Ide "Presidential Club" Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Nasional
6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

Nasional
Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Nasional
PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

Nasional
Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Nasional
Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com