JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin menilai, pemilihan presiden (Pilpres) 2019 adalah pilpres yang tergaduh dan terseru.
Hal itu terlihat dalam kampanye yang dilakukan kedua paslon, Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam menggunakan media sosial.
"Pada Pilpres 2014, pertarungannya masih terlihat konvensional dalam berkampanye. Sedangkan pada Pilpres 2019, kampanyenya lebih modern dengan cara menggunakan media sosial," ujar Ujang kepada Kompas.com, Rabu (27/2/2019).
Baca juga: Bawaslu Jadwalkan Pelatihan Saksi Pemilu Digelar 20 Maret 2019
Dia menjelaskan, media sosial tidak hanya menjadi alat kampanye untuk mempublikasikan visi, misi, program, dan janji kedua paslon, tetapi juga menjadi media menyebar hoaks dalam berkampanye.
Media sosial tidak terlalu banyak digunakan pada Pilpres 2014. Sedangkan di Pilpres 2019, media sosial telah menjadi kekuatan tersendiri untuk kampanye politik yang dapat digunakan kedua paslon.
Baca juga: Antisipasi Kerawanan Jelang Pemilu, Anies Minta Warga Tak Main Hakim Sendiri
Tak pelak, Ujang memprediksi Pilpres 2019 ini akan mengarah pada sengketa pemilu.
Untuk itu, aparat hukum wajib bertindak adil guna menyelesaikan kegaduhan tersebut.
"Faktor terjadinya sengketa Pilpres 2019, salah satunya adalah bahwa kedua kubu curiga dengan hasil pemilu yang dianggap banyak kecurangan. Padahal belum tentu curang," ungkapnya kemudian.
Baca juga: Wiranto Jamin Pemilu Aman, Pengusaha Diminta Tak Lari ke Luar Negeri
Selain itu, lanjut Ujang, masa kampanye yang terlalu panjang juga menjadi faktor adanya sengketa pemilu.
Sebab, kedua paslon sama-sama lelah dan akhirnya memunculkan kampanye yang tidak substantif, saling serang dan fitnah, serta menjatuhkan.
"Bahkan potensi konflik pun ada. Itu terjadi karena adanya polarisasi kedua kubu yang masih bersikap emosional, belum rasional. Konflik bisa saja akan diciptakan oleh salah satu kubu yang kalah, atau bisa juga dilakukan orang yang tidak bertanggung jawab," tutur Ujang.