KOMPAS.com – Kepolisian RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menangani sejumlah kasus jelang Pemilu 2019. Kasus terbaru, tiga orang perempuan yang diduga melakukan kampanye hitam terhadap calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo.
Dalam video yang beredar, ketiganya diduga menyampaikan informasi jika Jokowi terpilih, maka tidak akan ada lagi azan dan dilegalkannya pernikahan sesama jenis.
Polisi menindaklanjuti kasus ini dan telah menetapkan ketiganya sebagai tersangka.
Apa saja kasus terkait Pemilu 2019 yang sempat mencuat?
Pada kesempatan itu, ia menanyakan kepada seorang pegawainya mengapa memilih stiker yang bernomor 2.
Pegawainya yang ditanya itu justru menjawab terkait pilihan pilpres.
“Bismillahhirrahmanirrahim, mungkin terkait keyakinan saja, Pak. Keyakinan atas visi misi yang disampaikan nomor dua, yakin saja,” jawab sang pegawai.
Rudiantara memberikan jawaban yang kemudian menuai pro kontra.
“Bu, yang bayar gaji ibu siapa sekarang? Pemerintah atau siapa? Bukan yang keyakinan Ibu?" kata Rudiantara.
Hal ini kemudian dilaporkan oleh Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena Rudiantara dinilai menguntungkan salah satu pihak, dan menggiring opin untuk tidak memilih Prabowo.
Setelah melakukan penyelidikan, Bawaslu menyatakan menghentikan penyelidikan kasus dugaan pelanggaran pemilu ini dan menyatakan tidak terdapat pelanggaran pemilu dari pernyataan Rudiantara.
Baca juga: Bawaslu Putuskan Rudiantara Tak Bersalah soal Yang Gaji Kamu Siapa
Laporan ini karena pose 2 jari yaitu ibu jari dan telunjuk yang dilakukan Anies saat menghadiri Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul, Bogor, pada 17 Desember 2018.
Atas laporan yang masuk, Bawaslu Bogor melakukan penyelidikan dan pengkajian. Hasilnya, Anies dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran.
Dua jari yang ia peragakan bukan merujuk pada paslon Prabowo-Sandi, melainkan simbol The Jak Mania, pendukung klub kesebelasan asal Jakarta, Persija.
Baca juga: Buntut 2 Jari Anies di Konferensi Nasional Gerindra...
Menurut warga yang melaporkan, tiba-tiba muncul sosok Jokowi-Ma’ruf sebagai capres dan cawapres, lengkap dengan slogan kampanyenya, dalam papan iklan elektronik tersebut.
Hal ini dipermasalahkan karena hanya menampilkan satu paslon, tidak keduanya, dan dipasang di jalan protokol yang seharusnya bebas dari atribut kampanye.
Laporan disampaikan kepada Bawaslu DKI dan ditindaklanjuti.
Pihak Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi-Ma’ruf Jakarta membantah pihaknya yang melakukan hal itu.
Mereka menyebut ada kemungkinan masyarakat pendukung paslon di luar TKD yang melakukannya.
Setelah melakukan serangkaian sidang, Bawaslu DKI menyatakan terlapor (Jokowi-Ma'ruf) tidak terbukti melakukan tindakan memasang iklan di lokasi tersebut, sebagaimana dilaporkan oleh pelapor.
Baca juga: Dugaan Pelanggaran Kampanye Videotron Jokowi-Maruf dan Bantahan Tim Kampanyenya
Menurut TKN, reuni itu juga diduga menjadi ajang kampanye terselubung pihak Prabowo-Sandi, karena hadirnya sejumlah tokoh politik di sana.
Mereka yang hadir di antaranya, capres nomor urut 01 Prabowo Subianto, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, dan Ketua MPR Zulkifli Hasan.
TKN melaporkannya ke Bawaslu Jakarta. Keputusan akhirnya, Bawaslu menyatakan tidak ditemukan adanya pelanggaran.
Prabowo hadir sebagai undangan, dan bukan calon presiden. Pidato yang ia sampaikan dinilai tidak mengandung unsur kampanye.
Selain itu, tidak ditemukan alat peraga kampanye yang dibawa oleh peserta.
Baca juga: Tim Jokowi-Maruf Hormati Keputusan Bawaslu soal Dugaan Pelanggaran Kampanye di Reuni 212
Selanjutnya...