Dalam bangsa yang beragam seperti Indonesia, ditambah pula dengan suasana politik jelang pemilihan presiden yang sedang mendidih.
Risikonya pun sangat strategis, yakni kerentanan kohesi sosial yang bisa berimbas pada disintegrasi bangsa.
Kelompok tersebut acapkali memainkan isu-isu lokal untuk "digoreng" di level nasional.
Mereka mencari titik-titik kegagalan pemerintah yang berkuasa di berbagai penjuru daerah, lalu dibedak-bedaki, dipoles dengan data-data dan fakta-fakta fiktif, diberi narasi kebencian dan kemudian ditutup dengan narasi ketakutan, lalu disebar di ruang publik nasional.
Walhasil, hal kecil mendadak menjadi besar, viral, dibagikan oleh banyak kalangan, dan kemudian menebalkan rasa saling benci di antara dua kubu pendukung politik.
Jika sudah masuk pada level saling benci dan tak ditemukan instrumen mitigasi yang tepat, tinggal menunggu waktu untuk "pecah" dan "meledak".
Oleh karena itu, permainan berbahaya dengan menggunakan narasi kebohongan, narasi kebencian, dan narasi ketakutan harus dimitigasi sedemikian rupa.
Pemerintah harus memiliki aturan main yang jelas danstandar operasional yang mumpuni. Jika tidak, pemerintah justru bisa menjadi sasaran utamanya.
Salah satunya, pemerintah harus punya kepaduan dan akurasi data tentang hal-hal yang kerap kali dijadikan bahan untuk menarasikan hoaks.
Pun pemerintah harus punya instrumen penyaluran informasi dan data tersebut yang benar-benar bisa sampai langsung kepada tangan pertama, yakni stake holder isu dan masyarakat umum.
Dan tak lupa, instrumen hukum yang "tidak memerlukan perdebatan lagi" sebagai "stick" pemukulnya untuk memberi efek jera.
Tak kalah penting pula, pemerintah harus benar-benar bisa meyakinkan publik bahwa tidak ada satu pun dari organ kepemerintahan yang terlibat di dalam pembuatan dan penyebaran hoaks.
Yang terakhir itu sangat penting sifatnya karena menyangkut kredibilitas pemerintah di mata publik.
Pendeknya, hoaks harus dilawan. Kita tidak boleh berpangku tangan, harus bersama-sama turun tangan karena melawan hoaks adalah bagian dari ikhtiar merawat negeri ini agar tidak terbelah berkeping-keping.
Apalagi dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden pada 17 April mendatang, maka semakin besar pula rintangan yang menghadang.
Kualitas perhelatan akbar demokrasi tersebut akan dipertaruhkan dalam menghadapi sepak terjang sebagian pihak yang senang merusak persatuan dan kebersamaan masyarakat dengan memainkan isu yang kerab berada di luar keadaban.
Sebagai kontestasi, pilpres semestinya disemarakkan dengan perlombaan gagasan, pertarungan ide, dan adu visi-misi, bukan saling mengadu perbedaan identitas politik, bukan saling berpacu di dalam perlombaan pembuatan kontroversi pun sensasi, dan bukan pula tentang adu isu SARA.
Namun faktanya, kampanye sebagai bagian penting pilpres yang sudah berlangsung lebih dari tiga bulan justru disesaki dengan sensasi, kontroversi, fitnah, hoaks, atau pengedepanan identitas politik dari basis masa masing-masing kandidat.
Kondisi semacam ini akan menjadi lahan subur bagi penunggang bebas yang sedang menunggu hadirnya instabilitas nasional di negeri kita.
Mari sama-sama kita jaga agar kontestasi politik yang akan kita lewati tidak menjadi ajang untuk merusak kebersamaan kita sebagai anak bangsa. Karena jauh di atas pilpres, ada keutuhan dan persatuan Indonesia yang harus terus kita jaga. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.