JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi putusan Pengadilan Tinggi Jambi yang akhirnya membebaskan seorang anak korban perkosaan yang sebelumnya dijerat pidana penjara 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian.
Dalam perkara itu, anak tersebut dituntut karena tindakan aborsi.
"Hakim pada perkara ini berani untuk mengambil langkah yang sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang ada di Indonesia, dengan menggunakan ketentuan 'daya paksa' sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP," ujar Direktur Eksekutif ICJR Anggara dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (28/8/2018).
Menurut ICJR, ketika majelis hakim menggunakan alasan daya paksa, terlihat bahwa hakim melihat kasus ini tidak hanya secara hitam putih, melainkan ada ketelitian dalam melihat kondisi korban.
Baca juga: Aksi Solidaritas untuk Korban Pemerkosaan yang Dibui di Jambi
Adapun, Pasal 48 KUHP berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”.
Anggara menilai, putusan ini dapat dijadikan putusan penting bagi penegakan hukum dan peradilan di Indonesia. Sebab, korban seringkali dipandang tidak seimbang, khususnya bagi perempuan dan untuk kasus seperti aborsi.
Menurut Anggara, melihat kondisi korban yang diduga melakukan tindak pidana, harus dilakukan secara teliti.
Menurut ICJR, hukum harus menjamin rasa keadilan dan melihat kondisi pelaku tindak pidana, apalagi korban yang dianggap melakukan tindak pidana karena terpaksa.
Putusan ini juga dianggap sebagai peringatan bagi polisi, jaksa dan hakim di tingkat pertama, yang dianggap belum fasih melihat ketentuan KUHP, khususnya Pasal 48 KUHP.
Padahal, untuk kasus-kasus seperti ini, penggunaan perspektif dan ketelitian sangat dibutuhkan dari seluruh aparat penegak hukum.
Dalam konteks regulasi, ICJR menekankan pentingnya melihat lagi pengetatan penggunaan pidana aborsi dalam hukum pidana.
"Mengikuti ketentuan UU Kesehatan, maka dalam kondisi alasan indikasi medis dan korban perkosaan, aborsi harus dipertimbangkan sebagai perbuatan yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana," kata Anggara.
Untuk itu, Pemerintah dan DPR dinilai perlu segera memastikan diaturnya regulasi tentang pengecualian pidana aborsi bagi salah satunya korban perkosaan.
ICJR juga mendorong pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait untuk memberikan perlindungan dan penanganan medis serta psikologis bagi anak korban perkosaan di Jambi ini.
Baca juga: ICJR: Tekanan Psikologis Seharusnya Bisa Hapus Pidana Korban Pemerkosaan yang Dibui di Jambi
Anak tersebut perlu dijamin hak untuk direhabilitasi serta mendapatkan ganti rugi atas proses pidana yang selama ini telah berjalan berdasarkan ketentuan dalam KUHAP.
Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh kakak korban inibergulir di Pengadilan Batanghari, Jambi, sejak Juli 2018.
Korban yang hamil usai diperkosa, mengaborsi kandungannya.
Akibat tindakan aborsi itu, korban divonis 6 bulan penjara di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Sungai Buluh, Muara Bulian, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Ia ditahan karena melakukan aborsi dengan jeratan Pasal 77 A ayat 1 juncto Pasal 45A UU Nomor 35 Tahun 2014, tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUH-Pidana.