JAKARTA, KOMPAS.com — Aktivis hak asasi manusia, Haris Azhar, mengkritik munculnya pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas antara pemerintah dan DPR. Haris mencium adanya kepentingan Presiden Joko Widodo untuk berlindung di balik pasal tersebut.
"Presiden pasti menikmati pasal ini. Pasal ini bisa digunakan untuk membungkam mereka yang kritis kepada Presiden," kata Haris kepada Kompas.com, Jumat (2/1/2018).
Berdasarkan Pasal 263 draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana paling lama 5 tahun penjara. Pasal ini tetap dipertahankan meski sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Pernah Dibatalkan MK, Pasal Penghinaan Presiden Muncul Lagi di RKUHP
"Pasal ini politis dan hanya diciptakan untuk kepentingan segelintir kelompok yang berkuasa," kata Haris.
Haris menilai, munculnya pasal ini juga menandakan bahwa Jokowi tidak siap menerima kritik dari masyarakat. Harusnya, kata dia, Jokowi sebagai kepala negara mesti tahu betul risiko memimpin Indonesia sebagai negara demokrasi.
"Sebab, yang dikritik itu posisinya sebagai presiden, bukan personalnya," kata Direktur Eksekutif Lokataru Foundation ini.
Baca juga: Menyoal Pasal Zombie, Pasal Mati yang Hidup Kembali dalam RKUHP
Harus menyadari, terkadang ada penghinaan yang dilakukan masyarakat terhadap sisi personal seorang presiden. Namun, menurut dia, aturan mengenai hal ini sudah ada dalam pasal tentang pencemaran nama baik sehingga tak harus dibuat aturan khusus.
Dihubungi terpisah, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi Saptopribowo mengaku tidak tahu apakah pasal penghinaan presiden di draf RKUHP saat ini adalah pesanan Jokowi atau bukan.
"Saya belum tahu soal itu, saya yang belum dapat informasi soal itu," kata Johan.
Lebih jauh, Johan meminta hal teknis yang berkaitan dengan RKUHP ditanyakan langsung kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.