JAKARTA, KOMPAS.com - Suara pemilih perempuan tak bisa dianggap sebelah mata dalam setiap gelaran Pilkada. Pada Pilkada 2015, misalnya, jumlah pemilih perempuan hanya kalah sedikit dari laki-laki.
Potensi besar itu dimanfaatkan oleh berbagai kekuatan politik untuk mendulang suara. Akibatnya, perempuan kerap dijadikan alat politik dengan iming-iming atau janji politik semu.
"Praktik-praktik yang terjadi seperti itu perempuan seperti dijadikan pendulang suara," ujar Ketua Solidaritas Perempuan Puspa Dewi di Jakarta, Senin (8/1/2018).
Baca juga : Ketua Solidaritas Perempuan: Kami Tidak Mau di-PHP-in Politik Lagi...
Tak cuma jadi pendulang suara, Puspa juga menilai kaum perempuan rawan dimanfaatkan oleh satu kekuatan politik untuk menghancurkan kekuatan politik lainnya.
Misalnya, dengan menghembuskan isu-isu negatif yang menyertakan kaum perempuan seperti isu wanita simpanan.
Organisasi Solidaritas Perempuan mendorong agar para perempuan siap memahami situasi politik, kritis, dan tidak tergiur janji-janji semu para kandidat kepala daerah.
Hal ini dinilai penting agar perempuan tidak masuk ke dalam pusaran kepentingan politik praktis yang justru mengecilkan derajat perempuan itu sendiri.
Baca juga : Tambah Menteri Perempuan? Ini Kata Jokowi...
Menurut Puspa, ada beberapa cara agar perempuan tidak lagi menjadi alat politik. Pertama yaitu dengan mengecek rekam jejak para calon kepala daerah yang maju di Pilkada serentak.
Jangan sampai, kata dia, kaum perempuan memilih calon kepala daerah yang menjanjikan hak-hak perempuan namun ternyata kandidat tersebut justru memiliki kasus kekerasan terhadap perempuan.
"Apakah perempuan mau pemimpin yang melakukan kekerasan kepada perempuan?" kata Puspa.
Baca juga : Seleksi Tertulis Bawaslu Provinsi, Keterwakilan Perempuan Masih Minim
Sementara itu, cara kedua yaitu meneliti program-program kerja kandidat kepala daerah. kaum perempuan harus bisa memastikan mana kandidat yang memiliki prioritas memperjuangan hak-hak perempuan, misalnya dari sisi kesehatan atau pendidikan.
Meski begitu, diakui Puspa, upaya memberikan edukasi politik kepada perempuan, terutama ibu-ibu, idak mudah. Selain persoalan pendidikan, kondisi sosial ekonomi juga punya pengaruh besar.
Misalnya, lantaran kebutuhan ekonomi, perempuan memilih calon kandidat karena iming-iming rupiah atau bantuan kebutuhan pokok.
Oleh karena itu, kata dia, persoalan itu menjadi tanggung jawab bersama. Tidak hanya organisasi kaum perempuan, namun pemerintah dan pihak-pihak lain yang upaya membebaskan perempuan sebagai alat politik praktis.