Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Anggap Novanto Salah Alamat Permasalahkan Status Penyidik

Kompas.com - 22/09/2017, 13:25 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menganggap sidang praperadilan tak berwenang menentukan sah atau tidaknya penyelidik dan penyidik yang menangani perkara korupsi.

Ketua DPR RI Setya Novanto, melalui tim pengacaranya, mempermasalahkan status penyelidik dan penyidik KPK yang menerbitkan surat perintah penyidikan terhadap Novanto.

"Soal status penyidik dan penyelidik KPK bukan lingkup pemeriksaan dan bukan kewenangan hakim praperadilan, melainkan objek Pengadilan Tata Usaha Negara," ujar Setiadi saat membacakan tanggapan dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/9/2017).

(baca: KPK Sebut Dua Alat Bukti Keterlibatan Novanto Didapat Sejak Penyelidikan)

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP, ruang lingkup praperadilan terbatas untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka.

Ruang lingkupnya kemudian diperluas dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut bahwa penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk upaya paksa yang bisa diperiksa dalam praperadilan.

 

(baca: Menurut Dokter, KPK Sudah Bisa Periksa Setya Novanto)

Setiadi mengatakan, sengketa dalam PTUN timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.

"Termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan yang dikeluarkan. Jadi undang-undang mengatur secara absolut kompetensi yang berwenang mengadili sengketa tata usaha negara adalah PTUN," kata dia.

Setiadi menambahkan, keputusan pimpinan KPK mengenai anggota aktif kepolisian yang diangkat menjadi pegawai KPK telah memenuhi unsur tata usaha negara karena dilakukan oleh pimpinan lembaga.

(baca: Pengacara: KPK Sewenang-wenang Cegah Novanto ke Luar Negeri)

Hingga saat ini, keputusan tersebut tetap berlaku dan memiliki landasan hukum.

"Oleh karena itu, dalil pemohon mengenai status penyelidik dan penyidik KPK sudah sepatutnya ditolak atau tidak diterima," kata Setiadi.

Sebelumnya, pengacara Novanto, Agus Trianyo, mempermasalahkan status 17 penyidik dari Polri yang diangkat menjadi pegawai tetap KPK.

Padahal, belasan penyidik itu belum diberhentikan secara hormat oleh instansi asal.

Kedudukan para penyidik itu dianggap bertentangan dengan kriteria penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat 3 Undang-undang KPK.

Di sana disebutkan bahwa penyelidik dan penyidik KPK merupakan pegawai Polri dan Kejaksaan yang diberhentikan sementata oleh instansi asal selama bertugas di KPK.

"Dengan demikian, termohon (KPK) dalam menerbitkan sprindik dan SPDP terhadap pemohon (Novanto) tak sesuai dengan ketentuan pengangkatan penyidik KPK. Sehingga sprindik dan SPDP jelas tidak sah menurut hukum," kata Agus.

Kompas TV Golkar Klaim Tidak Ingin Bela Koruptor
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com