JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara Ketua DPR RI Setya Novanto, Agus Trianto, menganggap Komisi Pemberantasan Korupsi tidak punya dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka.
Bukti yang dimiliki KPK, kata dia, seluruhnya berasal dari perkara korupsi pengadaan e-KTP dengan terpidana dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto.
"Termohon (KPK) hanya pinjam alat bukti perkara pidana orang lain atas nama Irman dan Sugiharto sehingga cacat hukum," ujar Agus saat membacakan keberatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (20/9/2017).
"Secara yuridis, alat bukti tidak bisa dipalai untuk perkara lain," kata dia.
Novanto baru menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan sehari setelah dirinya ditetapkan tersangka. Agus mengatakan, hal itu menunjukkan bahwa KPK terlebih dahulu menetapkan tersangka sebelum memulai penyidikan.
(Baca juga: Pihak Setya Novanto Anggap Penetapan Tersangka oleh KPK Tak Punya Dasar Hukum)
Dalam undang-undang, kata Agus, proses penetapan tersangka harus mengumpulkan alat bukti dan memeriksa sejumlah saksi di tingkat penyidikan.
Pencarian alat bukti dilakukan untuk membuat terang suatu perkara dan melihat siapa yang berpotensi menjadi tersangka.
"KPK langsung menetapkan tersangka dan tidak pernah ada pemeriksaan pemohon sebagai calon tersangka. Ini tidak sesuai dengan SOP (prosedur operasional standar) baku kegiatan penyidikan dan KUHAP," kata Agus.
Dalam sidang Irman dan Sugiharto, saksi-saksi yang hadir melontarkan pernyataan yang berbeda soal keterlibatan Novanto dalam kasus e-KTP. Keterangan dalam sidang, kata Agus, juga tidak bisa digunakan menjadi alat bukti dalam penyidikan kasus Novanto.
Dengan demikian, ia menganggap KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka hanya berdasarkan asumsi.
"Dalam perkara a quo, alat bukti sah yang mana yang digunakan. Tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan bahwa pemohon melakukan pidana," kata Agus.
Setya Novanto menggungat status tersangka yang ditetapkan KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik.
Dalam kasus ini, Novanto diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus e-KTP.
Saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, Novanto diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.
Selain itu, Novanto diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.