KOMPAS.com - "Kami Banser tidak takut mati demi keutuhan NKRI. Mati hari ini ya begini, mati besok ya begini," ujar Amir dengan berapi-api.
Sontak seluruh peserta diskusi yang memadati Graha Gus Dur di kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memberi tepuk tangan sambil mengelukan perkataan Amir tersebut. Tak terkecuali Menteri Pemuda dan dan Olahraga Imam Nahrawi dan Sekjen PKB Abdul Kadir Karding yang duduk di barisan depan.
Amir adalah salah seorang anggota Barisan Ansor Serbaguna atau Banser cabang Mojokerto. Banser merupakan badan otonom Nahdlatul Ulama (NU) yang menjadi bagian dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor.
Minggu (23/7/2017), Amir diundang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi "Merawat Keindonesiaan: Tolak Radikalisme, Lawan Intoleransi: yang diinisiasi oleh organisasi Perempuan Bangsa.
(Baca: GP Ansor: Ancaman Ormas Radikal Sudah di Depan Mata)
Sore itu, dia mengisahkan seorang rekannya bernama Riyanto yang menjadi korban aksi teror bom. Riyanto merupakan anggota Banser yang ikut menjaga keamanan Gereja Eben Haezer di Mojokerto, Jawa Timur, pada perayaan malam Natal, pada 24 Desember 2000 silam.
Usai kebaktian, pengurus gereja menemukan sebuah tas mencurigakan di dekat telepon umum. Jaraknya hanya sekitar lima meter dengan lokasi ibadah.
Menurut penuturan Amir, Riyanto yang menerima laporan dari pengurus gereja langsung memeriksa isi tas tersebut bersama petugas kepolisian. Saat dibuka, kata Amir, ditemukan rangkaian kabel dan tidak lama kemudian mengeluarkan asap.
Orang-orang yang berada di sekitar lokasi, termasuk aparat, segera pergi menjauh karena takut tas itu akan meledak. Namun, hanya Riyanto yang berani mengambil tas tersebut kemudian membuangnya ke selokan.
Saat dibuang, bom meledak dan menewaskan Riyanto.
"Waktu dibuka isinya ada pelor, paku dan kabel. Setelah itu tas ngebul, polisi lari semua. Riyanto mengambil tas itu kemudian dibuang ke selokan. Beratnya sekitar tiga kilo. Tidak lama tas itu meledak dan saya pingsan," tutur Amir.
(Baca: Olahraga Jadi Alternatif Penangkal Penyebaran Nilai Radikal)
Tujuh belas tahun setelah tragedi bom malam Natal tidak membuat Amir menyesal menjadi anggota Banser, meski dia harus kehilangan seorang temannya.
Menurut Amir, menjaga keutuhan NKRI dari paham radikalisme dan keharmonisan antar-umat beragama telah menjadi kewajibannya sebagai Banser. Amir pun merasa bangga dengan yang telah ia lakukan sampai saat ini.
"Sebagai Banser, saya bangga, karena ada kesadaran dan kebanggaan untuk menjaga kedamaian dan keharmonisan antar umat beragama. Jangan sampai NKRI runtuh. Mari antar-umat beragama, duduk bersama," ucapnya.