JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius mengatakan, selama ini BNPT kesulitan menindak warga negara Indonesia (WNI) yang diduga menjadi anggota ISIS setelah kembali dari Irak dan Suriah.
Menurut Suhardi, penyebabnya karena tidak adanya payung hukum yang mengizinkan BNPT melakukan investigasi terhadap orang-orang yang diduga bergabung dengan ISIS.
Selama ini, BNPT hanya berwenang melakukan verifikasi dan menerapkan program deradikalisasi.
"Itu yang harus diverifikasi. Kalau misalnya pulang, kami verifikasi, termasuk kami berikan program deradikalisasi," ujar Suhardi, saat ditemui di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (3/7/2017).
"Tapi siapa yang menjamin mereka sudah tidak radikal, itu makanya kami verifikasi. Tapi kan UU-nya belum ada nih, kalau dia fighter dan UU-nya sudah ada baru bisa kami investigasi," lanjut dia.
Baca: Terpengaruh Situs Radikal, Penusuk Polisi Diduga Simpatisan ISIS
Suhardi mengatakan, BNPT selalu melakukan verifikasi terhadap orang-orang yang kembali dari Irak dan Suriah.
Verifikasi itu untuk mengidentifikasi apakah orang tersebut hanya simpatisan atau pejuang (fighter).
Sejauh ini, kata Suhardi, tercatat ada ratusan WNI yang sudah kembali dari Irak dan Suriah. Mereka tersebar di seluruh daerah di Indonesia.
BNPT akan berkoordinasi dengan unsur pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan.
"Jelas sudah ada namanya, sekian ratus sudah ada yang balik dan sudah tersebar di seluruh Indonesia itu. Saya minta pemerintah daerah ikut berperan untuk ikut menjaga. Kita tidak bisa menjamin mereka sudah tidak radikal," kata Suhardi.
Hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme belum juga selesai.
Pemerintah dan DPR tengah membahas poin-poin yang akan diatur dalam RUU tersebut, antara lain soal penindakan, pencegahan dan penanganan terhadap korban aksi terorisme.