Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lihatlah Konstitusi dan Sejarah Saat KPU Disesaki Wakil Parpol

Kompas.com - 24/03/2017, 20:23 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Terkesima dengan komposisi penyelenggara pemilu di Jerman dan Meksiko, sejumlah anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat menginginkan hal serupa. Unsur partai politik perlu masuk dalam Komisi Pemilihan Umum.

Padahal, hal serupa pernah dipraktikkan di Indonesia dan hasilnya tidak berjalan baik. Terlebih, amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada 2001 telah mengamanahkan agar pemilu diselenggarakan oleh KPU yang bersifat mandiri. Ini kemudian dikuatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2011.

Sejumlah anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu DPR, antara lain dari Fraksi Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, dan Partai Hanura, yang ingin unsur partai masuk di KPU, mungkin tidak tahu, lupa, atau justru sengaja melupakan sejarah pemilu, khususnya ketika KPU diisi unsur partai politik peserta pemilu tahun 1999.

Kala itu, anggota KPU terdiri atas 48 wakil partai politik peserta pemilu tahun 1999 ditambah lima wakil dari pemerintah. KPU pun dipimpin wakil dari partai politik, yaitu Rudini yang mewakili Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong.

(Baca: "Direcoki" DPR, Netralitas KPU Kini di Ujung Tanduk)

Kondisi itu membuat kinerja KPU tak terelakkan sarat dengan kepentingan politik setiap partai.

Dari arsip pemberitaan Kompas terkait KPU sepanjang tahun 1999, kepentingan politik jelas terlihat saat proses hingga penetapan hasil penghitungan suara, pembahasan penggabungan sisa suara, dan penetapan calon anggota DPR terpilih.

Partai yang kecewa, antara lain karena raihan suaranya minim, berulang kali memaksa rapat KPU berakhir tanpa hasil. Rapat praktis hanya diisi perdebatan, bahkan antaranggota KPU baku hantam. Akibatnya, penetapan hasil pemilu oleh KPU berulang kali tertunda.

Kerja KPU yang lamban itu memicu ketidakpastian politik dan akibatnya turut membuat kondisi ekonomi saat itu semakin terpuruk.

Pengalaman itu membuat pemerintah dan DPR belajar. Setahun setelah Pemilu 1999, pemerintah dan DPR sepakat merevisi Undang-Undang Pemilu dan menjadikan KPU sebagai lembaga yang independen dan nonpartisan. Artinya, tidak ada lagi orang partai dan orang pemerintah di KPU.

(Baca: Soal Anggota KPU dari Parpol, Bagaimana Mungkin Pemain dan Wasit Sama?)

Langkah itu dikuatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang melakukan amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001. Amandemen itu, antara lain, melahirkan Pasal 22E Ayat 5 yang menyebutkan pemilu diselenggarakan KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/2011, 4 Januari 2012, juga ikut menguatkan. Dalam amar putusannya atas uji materi pasal-pasal yang menyangkut syarat anggota KPU, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu disebutkan, istilah mandiri di Pasal 22E Ayat 5 UUD 1945 terkait erat dengan konsep nonpartisan.

"Adalah hal yang tidak sejalan dengan logika dan keadilan jika pemilu diselenggarakan lembaga yang terdiri atau beranggotakan para peserta pemilu itu sendiri," demikian salah satu kalimat di putusan MK itu.

Keterlibatan partai sebagai penyelenggara pemilu akan membuka peluang keberpihakan penyelenggara ke salah satu kontestan.

Keberpihakan akan menimbulkan ketidakpercayaan serta proses dan hasil yang tidak adil sehingga menghilangkan makna demokrasi yang berusaha diwujudkan melalui pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Nasional
Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Nasional
Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Tak Sejalan dengan Pemerintahan Efisien

Ide Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Tak Sejalan dengan Pemerintahan Efisien

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com