JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terus-menerus menunda uji kelayakan dan kepatutan 14 nama calon Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) menuai pertanyaan. Pasalnya, masa jabatan Komisioner KPU periode 2012-2017 akan habis pada 12 April mendatang.
Padahal, segudang tugas berat menanti Komisioner KPU yang baru, seperti mempersiapkan jalannya Pilkada Serentak 2018, hingga pelaksanaan Pemilu Serentak 2019.
Keempat belas nama calon Komisioner KPU telah diajukan pemerintah melalu tim Panitia Seleksi (Pansel) KPU sejak 1 Februari lalu. Namun, DPR bergeming untuk tak melangsungkan uji kelayakan dan kepatutan.
Beberapa alasan yang mengemuka yakni masih harus menunggu rampungnya pembahasan RUU Pemilu. Dalam Undang-undang Pemilu baru, diwacanakan adanya penambahan jumlah Komisioner KPU dari tujuh menjadi sembilan orang.
Namun, desas-desus yang berkembang mengemukakan alasan penundaan uji kelayakan san kepatutan keempat belas nama calon Komisioner KPU ternyata terkait isu netralitas dan kemandirian.
(Baca: Istana Minta DPR Segera Uji Calon Komisioner KPU dan Bawaslu)
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Rambe Kamarul Zaman mengatakan, penundaan berkaitan dengan uji materi (judicial review) pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi soal kewajiban KPU berkonsultasi dengan DPR dalam menyusun Peraturan KPU (PKPU).
KPU menganggap aturan dalam UU Pilkada tersebut mengebiri kemandirian mereka sebagai lembaga dalam mengambil keputusan, yaitu membentuk PKPU. KPU pun melayangkan juducial review, namun hingga kini belum diputus oleh MK.
Mereka yang lolos seleksi calon komisioner KPU merupakan komisioner lama yang mendorong judicial review. Sementara, yang tak mendukung judicial review tak lolos. Misalnya Ketua Bawaslu, Muhammad. Ia tak mendukung judicial review tersebut dan kebetulan tak lolos seleksi calon komisioner KPU.
Sementara, empat orang petahana komisioner KPU yang mendukung judicial review, masuk dalam daftar calon komisioner.
(Baca: Fahri Hamzah Setuju Wacana Anggota KPU dari Parpol)
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini melihat ada sejumlah implikasi jika Komisi II menolak nama-nama calon komisioner KPU-Bawaslu tersebut. Salah satunya berkaitan dengan independensi penyelenggara pemilu, terutama KPU.
"Publik akan bertanya-tanya. Justru di situlah kemandirian KPU akan semakin dipertanyakan. Karena dari proses seleksi saja sudah terlihat adanya intervensi," ujar Titi.